TOKOHWANITA.CO.ID – BIOGRAFI – Siti Walidah atau yang lebih dikenali dengan Nyai Ahmad Dahlan lahir dari keluarga pemuka Agama Islam dan Penghulu sah Keraton, Kiai Haji Fadhil. Semenjak kecil Siti Walidah sudah mendapatkan pengajaran agama yang bagus karena orang tuanya sebagai petinggi agama di Keraton Yogyakarta.
Karena argumen tradisi yang ketat, tiap anak wanita di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta harus tinggal (dipingit) di dalam rumah sampai tiba waktunya untuk dia menikah. Mengakibatkan, Siti Walidah tak pernah mengenyam pengajaran umum terkecuali pengajaran agama yang didapatkan dari ayahnya.
Nyai Ahmad Dahlan Menikah
Siti Walidah seterusnya menikah dengan ponakannya yang baru pulang dari Tanah Suci, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Sesudah pernikahan itu, Siti Walidah dikenali bernama Nyi Ahmad Dahlan. Buah pernikahannya dengan K.H. Ahmad Dahlan ialah mereka memiliki 6 orang anak.
Sebagai suami dari pemuka agama yang memiliki pemikiran-pemikiran revolusioner, Siti Walidah dan suaminya kerap mendapatkan hujatan dan tentangan karena penyempurnaan yang dilaksanakanya. Tetapi, Siti Walidah masih tetap memberikan dukungan suaminya itu dalam berdakwah dan menebarluaskan pemikiran-pemikirannya.
Walau tidak pernah mengenyam pengajaran umum, Nyai Ahmad Dahlan memiliki penglihatan yang luas. Hal tersebut dikarenakan oleh kedekatannya dengan beberapa tokoh Muhammadiyah dan figur pimpinan bangsa yang lain yang sebagai rekan seperjuangan suaminya.
Nyai Dahlan pilih mengajarkan warga dengan kreasi riil. Dia buka asrama dan beberapa sekolah wanita dan melangsungkan pelatihan-kursus pelajaran Islam dan pembasmian buta huruf untuk golongan wanita. Disamping itu, dia membangun beberapa rumah miskin dan anak yatim wanita dan mengeluarkan majalah untuk kaum hawa. Dia menggagaskan pikirannya berkenaan tentang pengajaran yang dikenali dengan ide “catur pusat”.
Catur Pusat ialah formulasi pengajaran yang menjadikan satu empat elemen, yakni:
- Pengajaran di lingkungan keluarga
- Pengajaran dalam lingkungan sekolah
- Pengajaran dalam lingkungan warga
- Pengajaran di daam lingkungan tempat beribadah
Kehidupan Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah terlahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1872. Ayahnya namanya Kiai Haji Muhammad Fadli,beliau adalah seorang ulama dan anggota dari Kesultanan Yogyakarta. Siti Walidah juga berkembang di lingkungan keluarga yang memiliki aura spiritual yang tinggi.
Dia menempuh pengajaran belajar dalam rumah. Ilmu yang dia pelajari memiliki beragam faktor dalam Islam, terhitung dari bahasa Arab dan al-Qur’an. Nyai Ahmad Dahlan juga menikah dengan KH. Ahmad Dahlan.
Waktu itu, Ahmad Dahlan tengah repot meningkatkan barisan Islam. Akhirnya, Nyai Ahmad Dahlan juga turut lakukan perjalanan bersama sang suami.
Kiprah Nyai Ahmad Dahlan
Sopo Tresno
Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan membuat group doa namanya Sopo Tresno, yang maknanya Siapa yang Cinta. Dia bersama suaminya, Ahmad Dahlan, ambil gantian untuk memimpin group ini. Kemudian, Nyai Ahmad Dahlan juga makin fokus pada ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan permasalahan wanita.
Aisyiyah
Bersama suami dan figur Muhammadiyah yang lain, Nyai Ahmad Dahlan mengulas mengenai formalisasi Sopo Tresno sebagai barisan wanita. Seterusnya, dia juga membuat barisan baru namanya Aisyiyah, diambil dari istri Muhammad, Aisha.
Pergerakan ini mempunyai tujuan untuk terlaksananya warga Islam yang sebenar-benarnya di dalam lingkungan warga wanita. Barisan baru ini disahkan pada tanggal 22 April 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai ketua. 5 tahun selanjutnya, organisasi ini bergabung dalam Muhammadiyah.
- Adapun usaha dari organisasi Aisyiyah yakni:
- Mengajari dan melangsungkan ceramah Islam
- Lebih memajukan pengajaran edukasi
- Hidupkan warga saling menolong
- Memiara dan memakmurkan beberapa tempat beribadah dan wakaf
- Mendidik dan mengasuh anak-anak dan golongan muda wanita agar nantinya jadi putri Islam yang memiliki arti Melangsungkan tayangan penerbitan
Muhammadiyah dan Aisyiyah
Sesudah kematian Ahmad Dahlan pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan meneruskan keaktifannya dalam organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Pada tahun 1926, dia pimpin Konferensi Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan terjun jadi wanita yang pertama kali memimpin pertemuan.
Pada tahun 1934, Dia lanjut untuk memimpin Aisyiyah. Saat penjajahan Jepang, Aisyiyah dilarang bekerja dengan wanita oleh Ordo Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943.
Dia bekerja di sekolah dan berusaha jaga pelajarnya supaya tidak dipaksakan untuk menyanyikan beberapa lagu Jepang. Sepanjang Revolusi Nasional Indonesia, Nyai Ahmad Dahlan mengurus dapur umum tempat tinggalnya untuk beberapa tentara. Dia juga ikut mempromokan dinas militer ke siswa-muridnya.
Tidak berhenti di sana saja, Nyai Ahmad Dahlan juga ikut serta berperan dalam dialog mengenai perang dengan Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno.
Akhir Hidup
Nyai Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 31 Mei 1946. Nyai Ahmad Dahlan dimakamkan di Mushola Kauman di Yogyakarta.
Penghargaan
Pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dideklarasikan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto berdasar Surat Keppres No 42/TK/1971.
Tulisan ini pernah tayang di tokohwanita.com pada 12 November 2021