Biografi Prof. Tengku H. Ali Hasymi

  • Bagikan
Biografi Teungku Muhammad Daud Beureueh
Biografi Teungku Muhammad Daud Beureueh

Prof. Tengku H. Ali Hasymi adalah seorang tokoh ulama terkemuka yang hidup pada abad ke-20. Ia juga terkenal sebagai sastrawan muslim produktif seperti Buya Hamka. Selain itu, beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Aceh dan berhasil mendirikan Kompleks Pelajar dan Mahasiswa Darussalam, sebuah pusat pendidikan tinggi penting di wilayah tersebut. Ali Hasymi juga dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam, terutama di Indonesia.

Prof. Ali Hasymi dapat diklasifikasikan sebagai ulama hebat bukan hanya karena pengalaman menjabat sebagai Gubernur Aceh, melainkan karena peran yang sangat besar dalam memajukan ilmu pengetahuan Islam sampai saat ini. Selain menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Propinsi Aceh, ulama ini terkenal sebagai penulis produktif yang menulis beragam karya, seperti sastra, sejarah perkembangan Islam, dan kitab-kitab keislaman.

Ali Hasymi, yang nama aslinya Muhammad Ali Hasyim dan sering menulis namanya dengan A. Hasymi, lahir pada tanggal 28 Maret 1914 di Gampong Lam Paseh, Kecamatan Montasiek, Kabupaten Aceh Besar. Wilayah ini sudah dikenal oleh masyarakat Muslim sebagai Serambi Mekah, tempat Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 8 Masehi, seiring berdirinya Kerajaan Peureula, Kerajaan Islam Lamuri, dan Kerajaan Samodera Pasei (abad 12-13 Masehi) yang dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam pada abad 16 Masehi. Islam berkembang dari sana ke Malaka, Jawa, dan seluruh wilayah Nusantara.

Ali Hasymi memulai perjalanan pendidikannya dalam dunia agama dari Rangkang, sejenis musholla, dan kemudian melanjutkan studinya di Dayah, sejenis pesantren, di wilayah Aceh. Saat menjadi remaja, ia pergi ke Minangkabau untuk melanjutkan pendidikan dengan mengikuti Qismu Tsanawiyah dan Madrasah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1930-an di bawah bimbingan Syeikh Abdul Hamid Hakim. Pada tahun 1951-1953, ia kembali belajar di Minangkabau dengan mengikuti Akademi Agama Islam (Al-Jam’ah al-Islamiyah) sambil bekerja di Departemen Sosial kota Padang.

Dalam hal pendidikan, Ali Hasymi memiliki pembelajaran mandiri dan dapat dikategorikan sebagai seorang otodidak, mirip dengan Buya Hamka yang merupakan ulama dan sastrawan, sekaligus pengarang sejarah Islam. Kedua ulama ini turut berperan dalam membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan Prof. Dr. Buya Hamka sebagai ketua umum pertamanya.

Nama A. Hasymi memulai menunjukkan eksistensinya pada panggung sejarah Indonesia pada tahun 1936, ketika ia mulai mempublikasikan puisinya di berbagai media cetak, terutama di Majalah Pujangga Baru, yang diterbitkan oleh Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini merupakan kumpulan sastrawan yang terdiri dari Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Amien Pane, Teuku Amir Hamzah, dan Hamka. Meski masih dianggap sebagai sastrawan muda, A. Hasymi sudah mulai menunjukkan dirinya sebagai seorang penulis muslim yang menanamkan nilai-nilai Islam dalam karya sastranya.

Penerbitan karya sastra pertama A. Hasymi, sebuah kumpulan sajak yang bertajuk “Kisah Seorang Pengembar,” terbit pada tahun 1936. Empat tahun kemudian, diterbitkan pula kumpulan sajak kedua, yang bernama “Dewan Sajak.” Kumpulan sajak pertama berisi 35 puisi dengan bentuk soneta dan memaparkan perjalanan seorang pemuda melalui samudera hidup.

Parafrase paragraf di bawah ini dengan gaya bahasa indonesia yang profesional dan unik: Koleksi puisi kedua dari A. Hasymi, yang berisi 7 bagian, membahas permasalahan hidup, dan merupakan lanjutan dari koleksi pertamanya. Bagian-bagiannya bertajuk Firdaus, Ibuku, Air Mata, Kiasan Alam, Karangan Bunga, Taman Muda, Buatan Mimpi dan Dendangan Bunda. Pada tahun 1966, kedua koleksi puisi ini kembali diterbitkan bersama dengan cerpennya, dalam sebuah buku bertajuk “Karya Dalam Pelukan Pelangi” yang diterbitkan saat beliau menjabat sebagai Gubernur Aceh.

Dibandingkan dengan Prof. Dr. Buya Hamka, karya sastra karya Prof. Ali Hasymi lebih terasa penuh nilai dan esensi keislaman. Meski Hamka juga dikenal sebagai sastrawan muslim, namun karyanya jarang mengandung nuansa keagamaan. Prof. Ali Hasymi yang merupakan lulusan Vervolkschool Montasiek ini masih aktif menulis beragam karya sastra baik prosa maupun puisi. Beberapa karya prosanya yang terkenal adalah “Bermalndi Cahaya di Tanah Suci”, “Suara Adzan dan Lonceng Gereja”, serta kumpulan cerpen “Cinta Sepanjang Jalan”. Puisi-puisinya yang terkenal antara lain “Kemuning” dan “Pengemis”, serta masih banyak lagi.

Sejak remaja, Prof. Tgk. H. Ali Hasymi selain menjadi penulis juga menjadi jurnalis. Profesi ini ditekuninya terus-menerus hingga menjadi Gubernur Aceh. Ulama asal Tanah Rencong ini pernah memimpin beberapa media cetak, seperti menjadi ketua redaksi Majalah Mathari di Padang (1940), redaktur Aceh Sinbun selama masa Jepang (1943-1945), dan setelah Jepang runtuh, ia mengambil alih media tersebut dan memberikan nama baru, Semangat Merdeka, tahun 1945 dengan tetap berpengaruh di Aceh. Sementara surat kabar terakhir yang diterbitkan olehnya adalah Sinar Darussalam di Banda Aceh tahun 1969. Meskipun tidak lagi memimpin dunia jurnalisme secara langsung, tidak berarti ia berhenti sepenuhnya dari kegiatan jurnalistik atau terpisah dari dunia tersebut. Ia masih sering menulis artikel dengan berbagai topik di berbagai media cetak baik di pusat maupun daerah.

Seiring berakhirnya penjajahan Belanda, pada masa pra-kedatangan Jepang, tumbuhlah beragam organisasi di tanah air, dimulai dengan lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Jawa. Pun begitu, di Aceh terbentuklah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada Mei 1939, bertujuan untuk mengaktifkan semangat perjuangan ulama-ulama Aceh.

Pemuda PUSA dibentuk oleh para ulama Aceh, di antaranya Teungku Muhammad Daud Beureueh yang merupakan guru Teungku Ali Hasymi. Pada usia dua puluhan, Ali Hasymi ditugaskan memimpin bersama beberapa individu lain, seperti Husin Yusuf, Amir Husein al-Mujahid. Kegiatan ulama muda, sastrawan, wartawan, dan organisator talenta yang dikenal memiliki pengaruh besar di kalangan pemuda PUSA. Peran yang dimainkan Ali Hasymi sebagai pemimpin pemuda PUSA membantunya memainkan peran penting setelah Indonesia merdeka, terutama dalam mengatasi pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh gurunya sendiri, Teungku Daud Beureueh.

Setelah kemerdekaan Indonesia, warga Aceh membentuk pasukan perjuangan untuk menghadapi serangan musuh, karena pasukan resmi seperti Tentara Republik Indonesia (TRI) belum mencapai wilayah tersebut. Di antara pasukan rakyat yang terkenal adalah Mujahidin yang dipimpin oleh Amir Husein al-Mujahid, dan Laskar IPI yang kemudian berganti menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia), yang dipimpin oleh Ali Hasymi.

Di masa kemerdekaan, terutama saat revolusi fisik, Ali Hasymi memimpin Divisi Rencong Aceh dengan pangkat Mayor, serta menjabat sebagai Kepala Unit Sosial Aceh. Ia juga menjadi anggota Dewan Pertahanan Aceh dan staf Gubernur Militer Aceh, yang dipimpin oleh gurunya sendiri, Mayor Jenderal Teungku Muhammad Daud Beureuh (1949). Ali Hasymi merupakan bagian dari Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Aceh (seperti Dewan Perwakilan Rakyat saat ini) dan ikut terlibat dalam misi haji ke-2 Indonesia ke Arab Saudi (1949) untuk mempermudah ibadah haji dari Tanah Air, yang saat itu belum berjalan dengan lancar.

Dengan tumbuhnya pemberontakan Darul Islam yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh, Ali Hasymi, sebagai seorang pemimpin muda masyarakat Aceh, menanggung beban mental dan konsekuensi yang tidak mudah. Meskipun ia tidak sependapat dengan pemberontakan tersebut, situasi yang ia hadapi sangatlah sulit karena pemimpin pemberontakan tersebut adalah guru dan pemimpinnya sendiri, terutama ketika mereka bekerja sama dalam mengelola PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Untuk menghindari dampak besar dan merugikan masyarakat Aceh, ia harus berpikir cermat dan menentukan langkah-langkah tepat untuk mencari solusi terbaik.

Penyelesaian atas pemberontakan yang bernama Darul Islam memang cukup sulit, mengingat gerakan ini mengusung slogannya untuk membangun Negara Islam. Rakyat Aceh dikenal memiliki kekentalan militansi yang sangat tinggi terhadap Islam, seperti saat mereka berperang melawan penjajah Belanda selama lebih dari 30 tahun. Einflus Teungku Daud Beureueh sangat besar di masyarakat Aceh, sehingga gerakan pemberontakan ini banyak menerima dukungan dari mereka.

Untuk memecahkan masalah perselisihan internal, wilayah Aceh harus dikenal sebagai daerah khusus yang setara dengan Propinsi, bukan hanya sebagai residensi bawah Propinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu, posisi penting di daerah harus ditempati oleh putra daerah sendiri, dengan Ali Hasymi ditunjuk sebagai Gubernur Aceh oleh pemerintah dan Kolonel Syamaun Gaharu sebagai pemimpin militer. Kedua putra Aceh ini berperan sebagai jembatan antara pemerintah pusat dan para pemberontak yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh.

Dengan usaha yang tidak mengenal lelah, terbukti upaya tersebut berhasil memecahkan masalah pemberontakan Aceh tanpa harus melibatkan operasi militer dari pemerintah pusat. Pemecahan masalah ini dicapai melalui proses negosiasi yang dimulai pada tahun 1957 hingga 1959, meskipun pemberontakan benar-benar dapat dituntaskan pada tahun 1962. Para pahlawan yang membantu mengatasi masalah ini antara lain Perdana Menteri Juanda, Wakil Perdana Menteri Hardi, Jenderal Nasution, Ali Hasymi, Brigjen Syamaun Gaharu, dan Jenderal Gatot Subroto. Sementara dari kelompok pemberontak sendiri adalah Hasan Ali, Hasan Saleh, Amir Husein al-Mujahid, dan lain-lain.

Sejak menjabat sebagai Gubernur Aceh, Ali Hasymi memberikan banyak sumbangan untuk pembangunan wilayah tersebut. Salah satu upayanya adalah melakukan renovasi pada Masjid Raya Aceh, yang menjadi renovasi terakhir hingga saat ini. Dalam usaha untuk membudayakan rakyat Aceh, Gubernur Ali Hasymi bekerja sama dengan Presiden Sukarno untuk menciptakan kompleks pendidikan yang berlokasi di Banda Aceh dan bernama Kopelma Darussalam. Kompleks tersebut diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 2 September 1959 dengan luas sekitar 180 Ha. Di sana berdiri Universitas Syiah Kuala dan IAIN Darussalam ar-Raniri, kedua nama institusi tersebut diambil dari nama dua ulama besar di Aceh, yakni Syeikh Abdur Rauf as-Singkili yang terkenal dengan Teungku Syiah Kuala dan Syeikh Nuruddin ar-Raniri, keduanya hidup pada abad ke-17.

Setelah mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur Aceh pada tahun 1964, Teungku Ali Hasymi tetap menempati beberapa posisi penting, khususnya di bidang agama. Ia menjadi Rektor IAIN Darussalam Ar-Raniri, Rektor Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, dan setelah berdirinya Majelis Ulama pada tahun 1975, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh dan kemudian menjadi Ketua menggantikan Tgk. Abdullah Ujong imba (1991-1998).

Nama Prof. Ali Hasymi merupakan sebutan yang tidak asing bagi rakyat Aceh dan umat Islam Indonesia, karena beliau memiliki reputasi sebagai sastrawan terkenal. Beliau juga dikenal sebagai ulama dan mubalig handal serta Guru Besar Ilmu-ilmu keislaman yang tidak diragukan lagi keilmuannya. Di kalangan Majelis Ulama, nama Ali Hasymi sangat dikenal dan disegani karena keilmuannya yang tinggi dan kepemimpinan yang diakui. Jabatannya sebagai mantan Gubernur Aceh merupakan bukti kepemimpinan dan keilmuannya yang sangat tinggi.

Dalam era abad ke-20, sedikit sekali ulama Indonesia yang produktif menulis dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Meski sudah berusia lanjut, Prof. Ali Hasymi masih memiliki energi untuk melakukan berbagai penelitian tentang keagamaan dan sejarah keislaman di Indonesia, terutama di Aceh. Meski tidak sepopuler Buya Hamka, ulama besar ini memiliki kemampuan dan minat yang serupa dengan Buya Hamka.

Reputasi Prof. Teungku Ali Hasymi sebagai sastrawan dan ulama besar tampak jelas melalui puluhan karya tulisannya, baik berupa buku-buku maupun artikel yang tersebar di berbagai media. Di bidang keagamaan, beberapa karya terpandang yang ditulisnya adalah:

Karya-karya Prof. Teungku Ali Hasymi meliputi lebih dari 40 buah buku, baik berupa karya sastra maupun tentang ilmu-keislaman, serta berbagai artikel tersebar di majalah dan surat kabar. Beberapa di antaranya yang menyangkut bidang keagamaan antara lain:

  1. “Negara Islam: Kajian terhadap Masalah Khilafah”, yang meninjau masalah khilafah dari berbagai segi, seperti
  2. “Ahkamus Shulthaniyah” karya al-Mawardi.
  3. “Syi’ah dan Ahlussunnah wal Jama’ah: Saling Berebut Pengaruh di Indonesia” yang membahas perkembangan kedua aliran tersebut di Indonesia.
  4. “Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia”, yang memuat sejarah perkembangan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara.
  5. “Syeikh Abdur Rauf: Ulama Negarawan yang Bijaksana”, sebuah kajian dan komentar terhadap ulama besar Aceh abad ke-17, Syeikh Abdur Rauf as-Singkili.
  6. “Kerajaan Saudi Arabia”, yang berisi tentang keberadaan, pemerintahan, dan kehidupan keagamaan kerajaan Arab Saudi.
  7. “Pahlawan-Pahlawan yang Gugur di Zaman Nabi”, yang memuat tarikh Islam dan kepahlawanan para pejuang dan syuhada’ pada awal perkembangan Islam.
  8. “Dustur Da’wah menurut Alquran”, yang berisi dasar-dasar ilmu dakwah.
  9. “Sejarah Kebudayaan Islam”, yang membahas khazanah budaya Islam dan perkembangannya dari zaman ke zaman, termasuk ilmu-keislaman.
  10. “Risalah Akhlaq”.
  11. “Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah”, yang menjadi karya ilmiah populer tentang tugas-tugas sastrawan dalam bidang dakwah.
  12. “Cahaya Kebenaran (Terjamah dan Tafsir Juz Amma)”.
    “Apa Sebab Alquran Tidak Bertentangan dengan Akal”, yaitu terjemahan dari “Ramadlan al-Muaddham” karya DR. Abul Wafa Taftazani.
    “Langit dan Para Penghuninya”, yaitu terjemahan dari “As Sama’ wa Ahlus Sama'” karangan Ir. Abdur Razaq Noval.
    “Mengapa Ibadah Puasa diwajibkan?”, yaitu terjemahan dari “Ramadlan al-Muaddham” karangan DR. Abdullah Syahatah.

Prof. Ali Hasymi memiliki beragam karya ilmiah dan sastra yang sudah populer di masyarakat, di antaranya:

  1. “Aceh Merdeka di bawah Seri Rau” yang memuat sejarah pemerintahan Sultanah Safiatuddin Syah dalam mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda dan Portugis.
  2. “Tanah Merah (Digul Bumi Pahlawan Kemerdekaan Indonesia)” yang berisi tentang pergerakan nasional di Tanah Digul sebagai tempat pengasingan bagi para pejuang yang berbahaya bagi Belanda.
  3. “Iskandar Muda Meukuta Alam” yang menceritakan kemegahan dan kemajuan Kerajaan Aceh semasa Sultan Iskandar Muda serta rahasia keberhasilannya.
  4. “Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan Indonesia”.
  5. “Bunga Rampai Kepahlawanan dari Tanah Aceh”.
  6. “Melalui Jalan Raya Dunia”.
  7. “Bermandi Cahaya Bulan”.
  8. “Surat-surat dari Tanah Suci”.
  9. “Surat-surat dari Penjara”.
  10. “Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda” yang memaparkan sejarah patriotisme dan heroisme rakyat Aceh serta peran Islam dalam perjuangan melawan Belanda.
  11. “Suara Adzan dan Lonceng Gereja”, dan masih banyak lainnya.

Sesuai dengan karya-karya yang dicetak oleh Prof. K.H. Ali Hasymi, dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan budayawan Islam yang cukup terkenal. Prof. Ali Hasymi memiliki peran serupa dengan Prof. DR. HAMKA meskipun, secara umum, reputasinya sedikit kurang dari ulama asal Minangkabau. Kedua ulama tersebut dikenal sebagai ulama pembaharuan yang memiliki dasar pemikiran dari budaya masyarakat Islam Indonesia. Selain dari kedalaman ilmu pengetahuan, aktivitas, dan perjuangan yang mereka lakukan, buku-buku dan karya-karya lain yang ditulis oleh mereka memegang peran penting dalam menentukan reputasi kedua ulama tersebut.

Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.

Sumber: Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *