Teungku Cik dalam bahasa Aceh merupakan ekuivalent dari “Tuanku Syeikh” dalam bahasa Melayu, yang menunjuk pada seorang ulama. Teungku Cik Di Tiro artinya adalah ulama terkemuka dari Desa Tiro, Kabupaten Pidie, Daerah Istimewa Aceh. Ia dikenal sebagai ulama besar dan pemimpin Perang Aceh yang berani dan memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Nama Teungku Cik Di Tiro tercatat sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah Perang Aceh bersama Teuku Umar, Cut Nya Dhien, dan tokoh-tokoh lainnya.
Saat ini, Aceh dan Yogyakarta diakui sebagai dua daerah istimewa di Indonesia yang memiliki ciri khas yang berbeda dari daerah lain. Yogyakarta memegang status sebagai daerah istimewa karena Pemerintah Indonesia mengakui keberadaan Yogyakarta sebagai kerajaan dan memilikinya sebagai daerah tingkat I. Sementara itu, Aceh dikenal sebagai daerah istimewa karena memiliki khusus sebagai daerah Islam.
Rakyat Aceh tidak hanya mayoritas beragama Islam, tetapi juga memiliki tingkat kefanatikan yang tinggi dalam mempraktikkan ajaran Islam dan mengintegrasikannya sebagai dasar hidup masyarakat. Oleh karena itu, Aceh disebut sebagai “Serambi Mekah,” karena sejarah mencatat bahwa agama Islam pertama kali masuk ke wilayah Indonesia melalui Aceh. Wilayah ini memegang reputasi sebagai daerah pertama yang menerima cahaya Islam di kawasan Nusantara dan sangat fanatik dalam memegang teguh pada syari’at Islam.
Tokoh Teungku Cik Di Tiro lahir pada tahun 1836 di Kampung Cumbok Lamlo, Tiro, Kabupaten Pidie, Daerah Istimewa Aceh. Ayahnya adalah seorang guru mengaji dan pamannya, Teungku Cik Dayah Cut, merupakan ulama terkenal di Aceh pada masa itu. Saat kecil, tokoh ini bernama Muhammad Saman, namun setelah menjadi ulama besar, namanya berubah menjadi Teungku Cik Di Tiro, sesuai dengan nama tempat tinggalnya. Pendidikan agama dan membaca tulis Arab pertama kali diterima dari orangtua dan kemudian dalam pendidikan agama lebih lanjut diterima dari paman, Teungku Cik Dayah Cut.
Setelah mencapai masa dewasa, Muhammad Saman mempelajari ilmu-ilmu keislaman dari para ulama terkemuka di sekitar wilayah Pidie, terutama dari Teungku Ck Di Lamkrak. Berkat keahliannya dalam ilmu-ilmu keislaman, ia kemudian menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan menetap di sana untuk beberapa waktu.
Setelah kembalinya dari tanah suci, Muhammad Saman membuka pondok pesantren Dayah di Desa Tiro, sehingga popularitasnya semakin meningkat sebagai Teungku Cik Di Tiro, yaitu Ulama Terkemuka dari Desa Tiro. Dayah yang didirikannya tumbuh dengan baik dan memiliki banyak murid dari berbagai daerah di Aceh dan sekitarnya, termasuk dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Oleh karena itu, sebelum serangan Belanda, nama Teungku Cik Di Tiro sudah dikenal sebagai ulama besar oleh masyarakat.
Indonesia yang profesional dan unik: Pemerintah Hindia Belanda terus-menerus berupaya mengendalikan seluruh wilayah Nusantara. Namun, satu-satunya wilayah yang menjadi tantangan bagi Belanda adalah Aceh Darussalam, yang tetap tegak berdiri sebagai kerajaan merdeka. Belanda menggunakan berbagai cara untuk menekan Aceh, mulai dari politik, persaingan dagang, budaya sosial, hingga persaingan militer di sekitar Selat Malaka. Kedudukan strategis Aceh Darussalam, sebagai pintu gerbang pulau Nusantara dan Selat Malaka yang sibuk dengan lalu lintas internasional, membuat Belanda sangat berambisi untuk menguasai wilayah ini.
Setelah berupaya mencari jalan untuk menaklukkan Sumatera selama beberapa dekade bahkan satu abad, Belanda akhirnya menemukan caranya. Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris pada tahun 1870, yang menggantikan Traktat London 1824. Perjanjian baru ini diberi nama Traktat Van Sumatera dan berisi tentang pengalihan kewenangan dari Inggris kepada Belanda untuk memerintah seluruh Sumatera. Traktat ini menjadi senjata konstitusional bagi Belanda untuk menguasai daratan Sumatera dan kepulauan sekitarnya, tetapi bagi kerajaan-kerajaan merdeka, terutama Kerajaan Aceh Darussalam, ini menjadi ancaman serius.
Menyusul penemuan jalan oleh Pemerintah Hindia Belanda, Traktat van Sumatera berubah menjadi senjata yang sangat mematikan bagi usaha mereka untuk menguasai Kerajaan Aceh. Serangan pertama dilancarkan pada tahun 1873 yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Belanda sungguh-sungguh bertekad untuk menguasai Aceh, bahkan perwira tinggi seperti Jenderal Kohler pun ditugaskan untuk memimpin serangan tersebut, menyimpulkan bahwa kekuatan Aceh sangat diperhitungkan. Serangan-serangan sebelumnya biasanya tidak dipimpin oleh perwira tinggi, hanya dipimpin oleh kolonel atau bahkan mayor saja.
Rakyat Aceh Darussalam tidak takut menghadapi serangan pasukan Belanda, meskipun beberapa bangsawan telah memiliki hubungan dengan pihak Belanda. Mereka berani menghadapi serangan dengan penuh semangat, sehingga berhasil memukul mundur pasukan Belanda dan mengalahkan Jenderal Kohler dalam pertempuran di Banda Aceh.
Pemerintah Belanda yang merasa dibantai tidak pernah menyerah, dan mereka mengirimkan eskpedisi kedua dipimpin oleh Jenderal Van Der Heyden. Dengan jumlah pasukan yang lebih besar, tentara Belanda berhasil menguasai ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam, Banda Aceh dan memberikan nama baru, Kotaraja. Wilayah Aceh Besar, termasuk Masjid Baiturrahman, juga berhasil dikuasai oleh tentara Belanda, tetapi beberapa wilayah di sekitarnya dan daerah-daerah pedesaan masih dikuasai oleh pejuang Aceh.
Namun, pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda tidak pernah berhenti. Bermunculan tokoh-tokoh baru seperti Teungku Umar, Cut Nya’ Dhien dan Cut Nya’ Meutia yang memimpin perlawanan dan memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Pada saat itu, para pejuang Aceh seperti Teungku Cik Di Tiro, Teuku Panglima Polem, Teuku Ibrahim Lamnga dan beberapa tokoh lainnya, tidak tinggal diam menyaksikan kebrutalan pasukan Belanda. Mereka tetap berjuang dan memperjuangkan hak mereka sebagai rakyat Aceh dan melawan penjajahan Belanda. Sayangnya, pada saat itu Sultan Dawud Syah yang masih remaja, sudah didepak dari takhtanya oleh Belanda dan Kerajaan Aceh dinyatakan runtuh. Wilayah Aceh diteruskan menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan dikepalai oleh Gubernur Van der Heyden (1877-1881).
Teungku Cik Di Tiro memproklamasikan perang sabil pada tahun 1881 untuk menghapus Si Kafe Uland (Orang Kafir Belanda). Meskipun semangat rakyat Aceh Darussalam mulai meredup, mereka kembali bangkit setelah adanya seruan dari ulama besar yang mereka hormati. Sebelumnya, kebanyakan ulama hanya berperan sebagai penasihat dan pendorong perang, tetapi Teungku Cik Di Tiro justru tampil sebagai Panglima Pasukan Aceh. Perjuangan suci ini sangat populer di kalangan rakyat. Tokoh-tokoh muda seperti Teuku Umar dan Cut Nya’ Dhien juga mulai muncul, terutama setelah Cut Nya’ Dhien (istri dari Teungku Ibrahim Lamnga, panglima tentara Aceh yang gugur di medan perang) menikah dengan Teuku Umar.
Perjuangan Aceh terus berlanjut selama 3 tahun dan memakan korban yang besar dari kedua belah pihak. Meskipun pasukan Belanda memiliki kekuatan yang lebih besar dan teknologi modern, pejuang Aceh tetap memperjuangkan hak dan kemerdekaannya dengan tekad yang kuat. Namun pada tahun 1904, Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik baru yang lebih militeristik dengan diterapkannya kebijakan Hindia Belanda Strategi Lintas, yang memaksa pejuang Aceh untuk menghentikan perjuangannya dan membuat aceh dikuasai penuh oleh Belanda.
Hal ini membuat situasi perang Aceh menjadi tidak stabil dan sulit diprediksi. Walaupun begitu, perjuangan rakyat Aceh tetap berlanjut dan memperoleh dukungan dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari ulama, pejabat, hingga rakyat biasa. Pada tahun 1906, perjanjian Hague dicapai antara Belanda dan pejuang Aceh, yang mengakhiri perang Aceh selama tiga puluh tahun. Pemerintah Hindia Belanda memulai pembangunan wilayah Aceh dengan membangun jalan raya dan sarana pendidikan. Namun, perjuangan rakyat Aceh tidak berakhir sampai situ, dan pada tahun 1953, pemerintah Republik Indonesia memulai Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung hingga tahun 2005.
Ini membuat Belanda harus memperlakukan ulama dan keagamaan dengan sangat hati-hati agar tidak menambah semangat perjuangan rakyat Aceh. Perang Aceh berlangsung sampai tahun 1904 dan pada akhirnya pihak Belanda berhasil memadamkan perjuangan dengan cara mengadakan perjanjian gencatan senjata dan memberikan beberapa kebijakan yang lebih baik bagi masyarakat Aceh. Namun, perjuangan Aceh membuktikan bahwa rakyat Aceh sangat memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan mereka yang selalu diterpa oleh kebrutalan Belanda.
Tetapi, tekad dan semangat Teungku Cik di Tiro tak dapat dipatahkan oleh berbagai upaya Belanda. Ia tetap teguh memimpin perjuangan rakyat Aceh dan melakukan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda. Berkat kepemimpinannya yang teguh dan didukung oleh rakyat, perjuangan Aceh memiliki momentum yang cukup kuat dan banyak mengalami kemenangan. Ia juga memainkan peran penting dalam mempertahankan dan memperluas wilayah yang dikuasai oleh pejuang Aceh. Teungku Cik di Tiro menjadi tokoh yang amat disegani dan dihormati oleh rakyat Aceh dan diakui sebagai pemimpin besar dalam Perang Aceh.
Dengan jawaban Teungku Cik di Tiro ini, Belanda gagal dalam upayanya untuk memadamkan perjuangan rakyat Aceh dengan politik adu domba. Kepercayaan masyarakat terhadap ulama besar tersebut semakin kuat dan membuat Belanda semakin sulit untuk mengendalikan situasi. Perjuangan rakyat Aceh untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda tetap berlanjut dan tidak mudah untuk dipatahkan.
Sumpah ini membuat Belanda harus berpikir ulang dan mencari strategi lain untuk memadamkan perang Aceh. Meskipun demikian, perang terus berlangsung dan memperlihatkan tingkat kesulitan yang sangat tinggi bagi Belanda untuk memadamkannya. Ulama besar Teungku Cik Di Tiro memegang teguh pada keyakinannya dan tidak mudah untuk didekati oleh Belanda. Akhirnya, perang Aceh berakhir pada tahun 1903 dengan kemenangan Belanda, namun pengaruh Teungku Cik Di Tiro terus berlangsung hingga kini dan diakui sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan.
Dengan demikian, Belanda berhasil memecah belah rakyat Aceh dan memperalat tokoh tersebut untuk melawan ulama karismatik seperti Teungku Cik Di Tiro. Melalui tindakan ini, Belanda berhasil memperlemah posisi ulama besar ini dan akhirnya memenangkan perang terhadap Aceh. Meskipun demikian, keberanian dan keteguhan hati Teungku Cik Di Tiro tetap menjadi simbol keberanian dan tekad bagi masyarakat Aceh hingga kini.
Wanita tersebut berhasil membunuh Teungku Cik Di Tiro dengan membacoknya saat sedang tidur. Kejadian ini sangat membekas dalam sejarah perjuangan Aceh melawan penjajahan Belanda, karena tokoh ulama besar ini sangat dicintai dan dihormati oleh masyarakat Aceh. Peristiwa ini menunjukkan betapa liciknya Belanda dalam memperjuangkan kepentingannya dan betapa pentingnya soliditas dan kesatuan bagi rakyat dalam menentang penjajahan.
Demikianlah, kepergian Teungku Cik Di Tiro membawa dampak yang besar bagi perjuangan Aceh terhadap Belanda. Keberanian, kepemimpinan, dan dedikasi Teungku Cik Di Tiro akan selalu diingat dan dihormati sebagai seorang ulama dan pahlawan nasional Aceh.
Sebagian besar dari masyarakat Aceh tidak menyadari bahwa Teungku Cik di Tiro telah diracun oleh agen Belanda. Mereka menganggap ulama besar ini meninggal dunia akibat sakit biasa dan kemudian memperjuangkan hak asasi ulama besar mereka. Keberanian dan tekad para pejuang Aceh membuat Belanda semakin kesulitan dalam menaklukkan Aceh. Perjuangan mereka tidak surut, malah semakin kuat dan intens seiring waktu. Meskipun Teungku Cik di Tiro telah tiada, namun spirit dan semangat perjuangan ulama besar ini terus hidup dalam diri masyarakat Aceh hingga sekarang.
Cut Nya’ Meutia adalah salah satu pemimpin perjuangan Aceh terkenal yang memimpin perlawanan terhadap Belanda. Setelah banyak pemimpin perjuangan lainnya gugur dalam perang, Cut Nya’ Meutia terus memimpin dan memotivasi rakyat Aceh untuk terus berjuang dan memperjuangkan hak mereka. Perjuangan Cut Nya’ Meutia dan para pejuang Aceh lainnya membuktikan bahwa mereka tidak akan menyerah dan akan memperjuangkan hak mereka hingga akhir.
Namun, Belanda tetap berusaha untuk mempertahankan kedudukan dan memenangkan perang tersebut dengan berbagai macam cara, baik dengan diplomatik atau dengan kekuatan militer. Mereka juga memanfaatkan perbedaan antar pemimpin dan kesukuan di Aceh untuk memecahkan soliditas dan mengurangi kekuatan pemberontakan. Setelah melalui berbagai perjuangan dan kesulitan, akhirnya Belanda berhasil memenangkan perang dan memasukkan Aceh sebagai bagian dari Hindia Belanda pada tahun 1904.
Baron Van Deventer melihat perjuangan Aceh tidak bisa terus dilanjutkan melalui kekerasan, karena memakan biaya yang sangat besar dan membuat pemerintah Belanda terancam pailit. Oleh karena itu, dia memproposalkan untuk mengubah strategi dan menggunakan politik etis sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan perang Aceh. Ide ini membutuhkan pendekatan halus dan lebih mengutamakan kerja sama dan membangun hubungan baik dengan masyarakat, sehingga masyarakat akan bersedia bekerja sama dan tidak lagi mengangkat senjata untuk berontak.
Teungku Cik Di Tiro sangat dikenal sebagai ulama besar dan pemimpin perjuangan di Aceh. Beliau memiliki pengaruh besar di masyarakat Aceh dan dihormati oleh para pejuang. Hingga kini, pengaruhnya masih terasa di hati masyarakat Aceh yang sangat kuat dalam memegang teguh ajaran Islam. Pemerintah Indonesia juga menghormati jasa dan perjuangan Teungku Cik Di Tiro dengan mengangkatnya sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan.
Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.
Sumber: Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.