Biografi Prof. KH. Ibrahim Husein, LML

  • Bagikan
Biografi Prof. KH. Ibrahim Husein, LML
Biografi Prof. KH. Ibrahim Husein, LML

Prof. KH. Ibrahim Husein, LML adalah seorang ulama terkenal dan handal dalam bidang fikih. Terkenal sebagai ahli fikih terkemuka di Indonesia, beliau dikenal dengan dalil-dalil kuat dan pendapat yang berbeda dengan ulama lain. Beliau memiliki reputasi sebagai ulama kontroversial dan memiliki kemampuan ijtihad yang tinggi, seperti beberapa ulama ahli fikih lain. Keahliannya dalam fikih dibentuk sejak usia muda melalui pelatihan dari beberapa pesantren. Beliau terkenal sebagai ulama yang teguh mempertahankan pendapat yang diyakininya benar.

Prof. KH. Ibrahim Husein, LML, seorang ulama fikih handal, pernah ditunjuk sebagai Ketua Majelis Fatwa MUI. Ia juga merupakan salah satu pendiri dan Rektor PTIQ dan IIQ Jakarta, yang membekali sarjana ulama dengan ilmu Alquran dan memori Alquran. Sebagai ulama fikih dan Alquran, Ibrahim Husein juga diakui sebagai pelopor pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Ia dilahirkan pada 1 Januari 1917 di Tanjung Agung, sebagai anak ke-8 dari 11 bersaudara, dari ayah yang berkebangsaan Bugis dan ibu keturunan ningrat Kerajaan Salebar.

Sejak masa kecil, Ibrahim telah memperoleh pendidikan agama dari lingkungan keluarga yang terdiri dari ulama. Ayahnya, KH. Husein, pernah mendirikan sebuah madrasah di kotanya, namun tidak berkembang dengan baik. Keluarga KH. Husein pindah ke Jakarta untuk memudahkan pengawasan putra ketiganya yang sedang belajar di sekolah. Namun, setelah beberapa waktu, keluarga tersebut kembali pindah ke Singapura, di mana Ibrahim, yang berusia 7 tahun, memasuki sekolah untuk pertama kalinya. Ibrahim hanya sampai kelas empat di madrasah tersebut karena keluarganya harus hijrah lagi dan menetap di Tanjung Karang, Lampung.

Di Tanjung Karang, KH. Husein membuka sekolah diniyah bernama Mu’awanatul Khair Arabic School (MAS), tempat Ibrahim melanjutkan pendidikannya. Setelah lulus dari tingkat ibtidaiyah, Ibrahim meneruskan tingkat tsanawiyah di cabang MAS Teluk Betung yang dikepalai oleh sahabat KH. Husein, KH. Nawawi.

Setelah tamat dari MAS Teluk Betung, Ibrahim memulai petualangan belajarnya dengan melewati Selat Sunda menuju Jawa. Beliau kemudian bersekolah di SMP Darul Mualimin Jakarta dan SMA Pesantren Sukabumi. Selain itu, Ibrahim juga belajar di berbagai pesantren di Jawa Barat, termasuk Pesantren Cbeber, Clegon, Banten yang dibimbing oleh KH. Abdul Latif. Setelah belajar di Pesantren Cibeber, Ibrahim masuk ke Jami’at al-Khair Jakarta, namun justru disuruh mengajar. Karena keinginan untuk belajar yang lebih besar, Ibrahim memutuskan pindah dan mengaji di Pondok Pesantren Lontar, Serang, Banten yang dibimbing oleh KH. Tubagus Shaleh Makmun. Di sana, Ibrahim lebih fokus pada qira’at dan tilawatil qur’an serta ilmu-ilmu keislaman lain.

Pada tahun 1935 saat berusia 18 tahun, Ibrahim kembali ke kampung halamannya di Bengkulu. Ia mengajar di Curup dan kemudian pindah ke kota Bengkulu, mengajar di Madrasah Muawanatul Khair dan juga sekolah guru Kweek School Islam yang didirikan oleh kakaknya sendiri, Utsman Husein. Setelah beberapa tahun mengajar, Ibrahim merantau kembali untuk memenuhi hasratnya untuk menuntut ilmu. Ia memasuki Pondok Pesantren Buntet di Crebon, di bawah asuhan KH. Abbas dan memperoleh kesempatan untuk dibimbing secara khusus oleh ulama besar itu. Ibrahim juga belajar kepada Sayyid Manshur di Jakarta dan Sayyid Ahmad Assegaf di Solo, khususnya untuk memperlancar bahasa Arab dan mempelajari ilmu bahasa. Pendidikan terakhir sebelum kedatangan pasukan Jepang adalah di Pesantren Ounung Puyuh di Sukabumi, di bawah asuhan KH. Ahmad Sanusi, seorang ulama ahli fikih yang terkenal, khususnya di kalangan mazhab Syafi’i. Di sini, Ibrahim mempelajari kitab al-Um karya Imam Syafi’ dan berbagai ilmu lainnya.

Pada tahun 1940, permohonan Ibrahim untuk bergabung dengan Universitas al-Azhar diterima, namun sayangnya, Konsul Belanda di Palembang enggan memberikan paspor-nya karena terjadinya Perang Dunia II. Oleh karena itu, Ibrahim harus menunggu waktu yang tepat. Seiring dengan masa pendudukan Jepang, Ibrahim Husein memanfaatkan peluang untuk memasuki pendidikan khusus Gunsei Gakko, yang membekali calon asisten wedana (sekarang camat) dengan pengetahuan politik dan pemerintahan. Setelah Indonesia merdeka, Ibrahim Husein akhirnya bisa melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar, pada tahun 1955 hingga 1960. Beliau memilih Fakultas Syari’ah Takhassus Madzhab (Sy’) dan berhasil menyelesaikan pendidikan dengan baik, mendapatkan ranking ketiga dari 70 mahasiswa yang lulus dan memperoleh gelar LML (Licentiate Mohammedan Law) dari berbagai negara.

Ibrahim Husein adalah seorang ulama dan guru yang selalu setia pada tugas pendidikan dan keagamaannya. Setelah kemerdekaan, beliau bekerja di Departemen Agama sebagai Koordinator Urusan Agama Karesidenan Bengkulu (1950-1955). Setelah belajar di Universitas al-Azhar, ia kembali bekerja di Departemen Agama dan menjabat berbagai posisi seperti Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Raden Fatah Palembang dan Jambi (1962-1964), Rektor IAIN Raden Fatah Palembang (1964-1966), Kepala Biro Humas dan Luar Negeri Departemen Agama RI (1966-1971), dan Penasehat Ahli Menteri Agama RI (1971-1982). Beliau juga pernah menjadi Guru Besar Hukum Islam di Universitas Islam Sumatera Utara (1962) dan Guru Besar Fikih di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1979-1982). Selain itu, beliau pernah menjadi Ketua Delegasi BKKBN ke Timur Tengah (1985) dan anggota delegasi konfirmasi Islam di Kairo, Islamabad (Pakistan), dan Malaysia (1969).

Tak terbantahkan lagi bahwa kemampuan Prof. KH. Ibrahim Husein diakui oleh para ulama dan masyarakat Islam. Ia dikenal sebagai ulama ahli fikih yang terkenal di Indonesia, meskipun pendapatnya seringkali berbeda dengan ulama lain, hal ini wajar karena membahas masalah al-fiqhiyah yang cenderung memiliki perbedaan pendapat, terutama masalah khalafiyah. Prof. KH. Ibrahim Husein bisa dikatakan sebagai ulama kontroversial, seperti dalam fatwanya tentang Parkas (SDSB) yang dinyatakan bukan judi olehnya, meskipun ulama lain menganggapnya sebagai judi, sehingga ia banyak dicaci maki oleh sebagian orang. Walaupun begitu, ia menegaskan bahwa yang haram adalah mengeluarkan harta dengan sembarangan.

Prof. KH. Ibrahim Husein adalah pemimpin dalam pendirian PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) Jakarta pada tahun 1971, di mana beliau sendiri menjabat sebagai Rektor sampai tahun 1977. Tujuan perguruan tinggi ini adalah untuk menghasilkan sarjana Ilmu Al-Qur’an yang berkualitas dan sebagai hafidz Al-Qur’an. Beliau juga terlibat dalam pendirian IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) untuk perempuan (mahasiswi) pada tahun 1977, dengan tujuan yang sama dengan PTIQ.

Prof. KH. Ibrahim Husein juga merupakan salah satu ulama terkemuka yang banyak terlibat dalam aktivitas keagamaan, pendidikan, dan masyarakat. Beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menunjukkan bahwa beliau diakui sebagai ulama ahli fikih yang tepat untuk memegang fatwa hukum. Jabatan ini dipegangnya sampai saat ini, meskipun usianya sudah lanjut, lebih dari 80 tahun.

Prof. KH. Ibrahim Husein, sebagai ulama dan ilmuwan Islam terkemuka, memiliki banyak karya ilmiah, termasuk ratusan judul artikel, laporan penelitian, dan makalah pada berbagai seminar dan pertemuan ilmiah. Buku-buku yang diterbitkannya di antaranya adalah: “Sahkah Khutbah dengan Bahasa Ajam” (1940), “Tuntutan Sabil” (1946), “Penjelasan tentang Hukum Bir” (1969), “Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Ruju’ dan Kewarisan” (1971), “Ma Huwa Maisir (Apakah Judi Itu?)” (1987), dan “Sekitar Masalah Subhat” (1989). Selain itu, ulama yang pernah menjadi Rais Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan ini juga banyak berjasa dalam pengembangan Keluarga Berencana (KB) melalui fatwanya, serta memainkan peran penting dalam pengembangan sistem KB Indonesia ke negara-negara Timur Tengah, terutama Tunisia.

Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *