Biografi Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy

  • Bagikan
Biografi Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy
Biografi Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy

Reputasi Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy sudah sangat melekat di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan ulama pembaharu dan dunia perguruan tinggi Islam. Meskipun ada perbedaan pandangan dengan ulama tradisional, mereka tetap mengenal dan menghormati Prof. Teungku Hasbi sebagai ulama besar yang ahli dalam fikih dan tafsir-hadis. Di kalangan modernis, Teungku Hasbi dikenal sebagai ulama mujaddid yang membawa perubahan dalam pemikiran Islam dan seorang mujtahid dalam bidang hukum Islam dan fikih. Secara keseluruhan, Prof. Teungku Hasbi dikenal sebagai ulama dan guru besar ahli fikih, pakar tafsir dan hadis, serta ilmu-ilmu keislaman lainnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang dikenal sebagai Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Profesor DR. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy adalah seorang pendidik yang berpengaruh, dan merupakan salah satu tokoh pendiri dari Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) Yogyakarta, yang kemudian berganti menjadi IAIN Sunan Kalijaga. Beliau diangkat sebagai Dekan Fakultas Syari’ah dan Guru Besar di perguruan tinggi tersebut, serta beberapa perguruan tinggi lainnya di Yogyakarta, Semarang dan terakhir di Jakarta. Lebih dari itu, Profesor Tgk. Hasbi Ash-Shiddieqy dikenal sebagai penulis produktif, dengan puluhan buku yang ditulisnya dan kualitasnya yang sangat baik, serta ratusan artikel dan karya ilmiah lain yang membahas berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama fikih, tafsir dan hadis.

Sebagai seorang ulama pembaharu, Prof. DR. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy memiliki gaya berfikir dan sikap kritis sejak masa remajanya ketika beliau belajar di berbagai pesantren yang mayoritas mengikuti dan mengajarkan mazhab Syafi’i dalam ilmu fikih. Kebebasan berfikir dan sikap kritis ini terus tumbuh dan berkembang hingga beliau menjadi ulama dan guru besar. Tak heran jika sebagai seorang pembaharu, beliau menerima berbagai tantangan dan dukungan, ada yang setuju dan mendukung pendapatnya, ada juga yang tidak setuju, termasuk di kalangan modernis. Namun, semuanya mengakui keilmuan dan memiliki rasa hormat terhadap Prof. DR. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy.

Asli bernama Muhammad Hasbi, dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhok Seumawe, Kabupaten Aceh Utara, sebagai anak dari kalangan ulama yang juga bertindak sebagai pejabat keagamaan di daerah tersebut. Ayahnya, Teungku Haji Muhammad Husein bin Muhammad Su’ud, adalah seorang qadli (kepala hakim) Lhok Seumawe yang menggantikan mertuanya dengan gelar Teungku Kadi (Qadli) Chik (Sri) Maharaja Mangkubumi. Sementara ibunya adalah Teuku Amrah binti Teungku Qadli Sri Maharaja Mangkubumi Abdul Azis. Ayahnya merupakan keturunan ke-36 dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang berarti bahwa leluhur dari ayahnya berasal dari Mekah dan menetap di Malabar (India) sebelum akhirnya merantau ke nusantara dan menetap di Samodera Pasai (Aceh) pada abad ke-13. Sementara ibunya adalah keturunan ulama dan bangsawan di lingkungan Kesultanan Aceh Darussalam.

Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan yang memprioritaskan tata cara agama dan cenderung fanatik, Muhammad Hasbi memperoleh pendidikan agama Islam sejak usia dini, terutama dari ayahnya sendiri. Namun, ketika ia berusia 6 tahun (1910), ibunya meninggal dunia, sehingga ia dibesarkan oleh bibinya, Teuku Syamsiah. Namun, dua tahun kemudian bibinya juga meninggal. Karena ayahnya telah menikah lagi, ia memilih untuk tinggal bersama kakak tertuanya, Aisyah (Teungku Maneh), dan terus belajar mengaji pada ayahnya hingga menamatkan Al-Quran 30 Juz dan melanjutkan belajar qir’ah dan tajwid.

Dengan dedikasi yang tinggi terhadap pendidikan, Hasbi memulai perjalanan belajar-mengaji yang panjang melalui beberapa pesantren di kawasan Aceh. Selama 8 tahun (1912-1920), beliau menantang diri dengan belajar di berbagai institusi pendidikan, mulai dari Dayah Teungku Abdullah Chik di Peyeung, kemudian Dayah Teungku Chik di Bluk Bayu, Blang Kahu, Gendong, dan Blang Manyak Samakurok. Pada tahun 1916, beliau mengambil langkah lebih jauh untuk memperdalam pengetahuan dengan belajar fikih selama 2 tahun di Dayah Teungku Idris Chik di Tanjungan Barat, Samalanga. Setelah itu, beliau melanjutkan belajar di Kabupaten Aceh Besar (Aceh Rayeuk) di Dayah Teungku Hasan Krueng Kale, yang merupakan ulama terkenal di Aceh pada saat itu.

Pada tahun 1920, Muhammad Hasbi meraih syahadah dari Teungku Hasan sebagai tanda pengakhiran proses belajarnya dan cukup memiliki ilmu untuk membuka sebuah dayah sendiri. Setelah pulang ke Lhok Seumawe, ia mulai mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya. Namun, ia merasa belum merasa puas dalam mempelajari kitab-kitab fikih Syafi’iyah yang sudah didapatkan, karena sifat pemikirannya yang cenderung bebas dan kritis dalam menyikapi permasalahan. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk belajar secara mandiri dengan membaca berbagai literatur keislaman, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, baik menggunakan huruf Arab Melayu maupun huruf Latin. Selain itu, ia juga mempelajari bahasa Belanda, selain sudah memiliki penguasaan yang baik dalam bahasa Arab.

Pada tahun 1920, Muhammad Hasbi membuka sebuah madrasah di desa asalnya dan melangsungkan pernikahan dengan Siti Khadijah, seorang gadis yang memiliki hubungan keluarga dengan Muhammad. Pernikahan ini tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal saat melahirkan anaknya, seorang bayi perempuan yang diberi nama Nur Jauharah. Anak tersebut tidak lama kemudian meninggal setelah ibunya. Muhammad kemudian menikah lagi dengan Teuku Nyak Asiyah, yang masih merupakan sepupunya, dan dari pernikahan ini mereka memiliki empat anak: Zuharah, Anisatul Fuad, Nourouzzaman, dan Zakiyul Fuad.

Meskipun sudah membuka madrasah dan menikah, Muhammad Hasbi belum merasa puas dengan ilmunya. Ia mempelajari ilmu dengan khusus untuk memperdalam alat dan pemikiran Islam modern bersama Syeikh Muhammad bin Salim al-Kalali, seorang ulama pembaharu pada masa itu di Aceh. Guru tersebut juga yang merekomendasikan agar nama Hasbi ditambahkan Ash-Shiddieqy yang menunjukkan bahwa dia keturunan ke-37 dari Ab Bakr ash-Shiddiq. Sejak tahun 1925, namanya berubah menjadi Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.

Muhammad al-Kalali ingin memperkuat posisi Hasbi sebagai ulama pembaharu, sehingga pada tahun 1926 ia membawa Hasbi ke Surabaya untuk belajar pada ulama besar dan pembaharu Syeikh Ahmad Surkati al-Anshori. Hasbi diterima dalam kelas khusus Madrasah Al Irsyad, Surabaya dan dididik langsung oleh Syeikh Ahmad as-Syurkati. Dalam periode setengah tahun, Hasbi belajar di Madrasah Al Irsyad dan memperoleh bekal yang memadai untuk memperdalam ilmu-ilmu Islam dan tampil sebagai ulama pembaharu, meskipun terus menerus belajar secara mandiri.

Setelah kembali dari Surabaya, Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy mulai memulai kontribusinya dalam usaha memajukan pendidikan Islam dan pemikiran pembaharuan. Pada tahun 1928, bersama dengan Syeikh Muhammad al-Kalali, ia mendirikan sebuah madrasah di Lhok Seumawe yang diberi nama Al Irsyad, namun hanya bertahan selama setahun dan kemudian pindah ke Krueng Mane untuk mendirikan madrasah Al Huda, yang juga tidak bertahan lama. Ia kembali ke Lhok Seumawe dan memasuki dunia politik, namun nasibnya justru memburuk, sehingga harus pindah ke Kutaraja (Banda Aceh). Di kota ini, ia merasa sedikit lebih bebas, namun tidak terbebas dari tekanan dan tantangan.

Teungku Hasbi memiliki banyak jasa dalam dunia pendidikan dan keagamaan, di antaranya sebagai guru di HIS dan MULO Muhammadiyah, pengurus Yong Islamieten Bond Daerah Aceh (YIBDA), mengajar di Jadam Montasik pada tahun 1937, mengajar di Ma’had Imanul Mukhlis atau Ma’had Iskandar Muda pada tahun 1941, mendirikan Ferguisa (Persatuan Guru-Guru Islam Seluruh Aceh), serta mendirikan Perguruan Darul Irfan pada tahun 1940. Selama masa Jepang hingga awal kemerdekaan, Teungku Hasbi kembali ke Lhok Seumawe dan membawa kembali hidup Dayah Mon Gondong setelah wafatnya ayahnya pada tahun 1943. Namun, statusnya sebagai tawanan revolusi sosial pascakemerdekaan membuatnya menjadi guru di SMI (Sekolah Menengah Islam) Lhok Seumawe. Meski selalu menghadapi tekanan dan tantangan, Teungku Hasbi terus memperjuangkan ide-ide pembaharuan yang keras dan konsisten.

Setelah perang kemerdekaan, Kementerian Agama Republik Indonesia membentuk PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) di Yogyakarta pada tahun 1951. Teungku Hasbi diterima oleh Menteri Agama, KH. Wahid Hasyim, sebagai tenaga dosen. Ia juga mengajar di beberapa lembaga pendidikan di Yogyakarta, seperti SGHAN (Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri), PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri), Sekolah Menengah Islam Tinggi, dan Mualimin Muhammadiyah. Ia memegang berbagai jabatan struktural, seperti Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1960-1972), Dekan Sementara Fakultas Syari’ah IAIN Darussalam Ar Raniri Banda Aceh (1960-1962), dan Pembantu Rektor III IAIN Sunan Kalijaga (1963-1966).

Sebagai ulama yang pernah menjabat sebagai anggota konstituante dari Masyumi, Teungku Hasbi juga terlibat aktif dalam dunia pendidikan swasta, dengan bergabung sebagai guru besar di berbagai lembaga, seperti Universitas Islam Indonesia sejak 1964, Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA) Semarang (1967-1975), Rektor Universitas Cokroaminoto Surakarta, Guru Besar UNISBA (Universitas Islam Bandung), UMI (Universitas Muslimin Indonesia) Makassar dan masih banyak lainnya. Pada tahun 1960, beliau juga diangkat sebagai guru besar di IAIN Sunan Kalijogo dan menerima gelar Doktor Honoris Causa (DR. HC) dari UNISBA dan IAIN Sunan Kalijaga tahun 1975 sebelum akhirnya dipanggil ke rahmatullah.

Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddiqy tidak diragukan lagi kapabilitasnya dalam dunia ilmu dan kepemimpinan keagamaan. Ia diterima sebagai ulama berkualitas dan inovatif yang memiliki pemikiran kritis dan bebas dari pengaruh eksternal, yang tercermin dalam karya ilmiahnya. Sebagai ulama dan penulis, ia tercatat sebagai penulis produktif dan berkualitas, yang memiliki banyak buku dan lebih dari seratus artikel yang menjelaskan berbagai aspek ilmu Islam dan pemikiran Islam. Karyanya luas dan tidak dapat dirangkum dalam buku tunggal.

Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddiqy dikenal sebagai ulama pembaharu dan penulis produktif dan berkualitas tinggi. Beliau memiliki puluhan judul buku yang membahas ilmu fikih, tafsir, hadis dan masalah-masalah keislaman lainnya. Buku-bukunya banyak yang berkualitas dan berjilid-jilid, yang masing-masing mengupas topik-topik penting dalam bidang tersebut. Beberapa di antaranya berjudul “Sejarah Peradilan Islam”, “Tiuntunan Qurban”, “Pengantar Hukum Islam”, “Al-Ahkam”, “Pedoman Muslimin”, “Pemindahan Darah (Blood Transfusion)”, “Asas-asas Hukum Tata Negara”, “Ilmu Kenegaraan Dalam Fikih Islam”, “Pidana Mati Dalam Syari’at Islam”, “Fikih Islam Memiliki Daya Elastis”, dan masih banyak lainnya.

Karya ilmiah sang ulama dalam bidang tafsir Alquran meliputi “Tafsir Alquran Majid” atau “Tafsir An-Nur 30 juz”, “Beberapa Rangkaian Ayat”, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir”, “Tafsir al-Bayan”, “Mu’jizat Alquran”, “Ilmu-ilmu Alquran”, “Media Pokok dalam Menafsirkan Alquran”, dan “Tarjamah Alquran” yang merupakan hasil kerja sama dengan Lajnah Penerjamah Alquran pada Departemen Agama. Dalam bidang hadis dan mustholah hadis, beberapa karya terkenal ulama asal Aceh adalah “Beberapa Rangkuman Hadis”, “2002 Mutiara Hadis (8 jilid)”, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis”, “Pokok-pokok Ilmu Driyah Hadis (2 jilid)”, “Koleksi Hadis-hadis Hukum Ahkamun Nabawiyah (11 jilid)”, “Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam”, “Rijalul Hadis”, dan “Perjuangan Perkembangan Hadis”. Karya-karya ulama dalam bidang ilmu tauhid/ilmu kalam antara lain “Pelajaran Tauhid”, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam”, “Fungsi Aqidah dalam Kehidupan Manusia dan Perputarannya dengan Agama”, “Sendi Aqidah Islam”, “Hakikat Islam”, dan “Unsur-unsur Agama”. Adapun karya yang bersifat umum tentang keislaman meliputi “Al-Islam (2 jilid)”, “Pedoman Berumah Tangga”, “Sejarah Peradilan Islam”, “Dasar-dasar Ideologi Islam”, “Sejarah dan Perjuangan 40 Pahlawan Utama dalam Islam”, “Pelajaran Sendi Islam”, “Sejarah Islam Pemerintahan Abbasiyah”, “Sejarah Islam Pemerintahan Amawiyah Timur”, “Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah”, “Lembaga Pribadi”, “Dasar-dasar Kehakiman dalam Pemerintahan Islam”, “Pedoman Dzikir dan Doa”, “Ulum al-Lisan al-‘Arab (Ilmu-Ilmu Bahasa Arab) 3 jilid”, “Problematika Bulan Ramadhan”, “Lapangan Perjuangan Wanita Islam”, “Gubahan Dikir dan Doa Istimewa dalam Pelaksanaan Ibadah Haji”, dan “Problematika Idul Fitri”.

Prof. Tgk. Hasbi Ash-Shiddieqy memiliki banyak karya dalam bidang ilmu fikih, menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dilakukannya demi menolak anggapan bahwa ijtihad sudah ditutup. Menurut beliau, hukum fikih selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masalah dan adat istiadat dan situasi setempat memiliki pengaruh bagi seorang mujtahid dalam menetapkan hukum, seperti halnya Imam Syafii’i yang mengubah pendapatnya saat berada di Baghdad dan Kairo. Oleh karena itu, Prof. Tgk. Hasbi memulai pembentukan Fikih Indonesia yang sesuai dengan adat istiadat dan kondisi di Indonesia. Beliau tidak membatasi diri pada pendapat imam mazhab empat dan ulama lain dari masa lalu, seperti halnya ulama pembaharuan lainnya. Menurut beliau, terdapat 3 bentuk ijtihad yang perlu dilakukan dalam hal ijtihad.

Prof. Tgk. Hasbi Ash-Shiddieqy memiliki jumlah karya terbanyak dalam bidang fikih, seiring dengan pembaharuan yang dilakukan untuk membantah anggapan bahwa ijtihad telah ditutup. Beliau percaya bahwa hukum fikih selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masalah dan kondisi setempat memainkan peran penting bagi seorang mujtahid dalam menentukan hukum. Oleh karena itu, Prof. Tgk. Hasbi memulai terciptanya Fikih Indonesia yang sesuai dengan keadaan, kondisi dan adat istiadat di Indonesia, tanpa menafikan pendapat ulama mazhab dan mujtahid masa lalu. Dalam hal ijtihad, beliau menyebutkan ada 3 bentuk yang perlu dilakukan, yakni:

1 Ijtihad untuk mengklasifikasikan hukum-hukum ulama mazhab masa lalu, agar dapat dipilih pendapat yang sesuai untuk diterapkan di masyarakat Indonesia.

2 Ijtihad untuk mengklasifikasikan hukum-hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat.

3 Ijtihad untuk mencari hukum-hukum untuk masalah kontemporer yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ, bank, asuransi, inseminasi buatan, bank mata, dan lain-lain.

Profesor DR. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan pentingnya ijtihad bersama (ijtihad kolaboratif) karena keterbatasan kemampuan individu masing-masing ulama. Dalam ijtihad bersama ini, para ulama tidak sendirian melakukan ijtihad, tetapi juga melibatkan dokter, politisi, ekonom, budayawan, dan lainnya, tergantung disiplin ilmu dan masalah yang sedang dibahas, sehingga hukum Islam terus berkembang dan inovatif.

Prof. DR. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy meninggal pada usia 71 tahun, tepatnya pada hari Selasa, 9 Desember 1975 pukul 17.45 WIB, saat beliau berada dalam tahap persiapan pemberangkatan ibadah haji bersama istrinya. Jenazah beliau dikuburkan di Taman Pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang, berdampingan dengan makam rekannya Prof. H. Thoha Yahya Umar MA yang telah lebih dahulu meninggal.

Meski Prof. DR. Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy telah meninggal, warisan ilmu dan pemikirannya masih terus hidup dan berkembang melalui karya-karya ilmiah dan buku-bukunya, serta para anak didik, mahasiswa, dan putra-putrinya yang telah menjadi ulama, guru besar, pemimpin, dan tokoh masyarakat terkemuka di berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara. Dalam memperingati jasa-jasa besar ulama ini, salah satu putranya, Prof. Dr. Nourouzzaman Ash Shiddieqy, dengan membawa doktornya dari IAIN Sunan Kalijaga (1976), memilih judul “Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia” dan kemudian menulis buku yang membahas ulama besar ini dengan judul “Fikih Indonesia, Penggagas dan Gagasannya”.

Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.

Sumber: Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *