Latar Belakang
Tokoh yang lahir di Kota Gede, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1915, memiliki nama kecil Saridi. Ia memulai pendidikan formalnya di Sekolah Ongko Loro, dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Rakyat (SR) Maha Madiyah hingga lulus. Selanjutnya, Saridi meneruskan pendidikannya di Sekolah Guru Muhammadiyah di Yogyakarta.
Bakat kelimuan Saridi terlihat jelas ketika ia bersekolah di Sekolah Arab Al Irsyad di Lawang, sebuah kota kecil 18 kilometer sebelah utara Kota Malang, Jawa Timur, di mana hampir seluruh siswanya adalah orang Arab. Pada tahun 1934, Saridi lulus dari Sekolah Arab (Madrasah) Al Irsyad dan berencana untuk melanjutkan studinya di Timur Tengah.
Pendidikan
Pada awal abad ke-20, Kairo sudah terkenal di Indonesia sebagai kota dengan lembaga pendidikan Islam terbesar, paling populer, dan paling modern di dunia Islam, yaitu Universitas al-Azhar. Selain itu, ada juga perguruan tinggi terkenal lain seperti Universitas Kairo dan Universitas Ain Syams yang menawarkan jurusan umum.
Ketika berusia 20 tahun, Muhammad Rasyidi pergi ke Mesir tetapi tidak langsung masuk ke perguruan tinggi. Dia belajar di Madrasah Dârul ‘Uliam Kairo, lalu melanjutkan studinya di Fakultas Sastra, jurusan Filsafat di Universitas Kairo (Cairo University).
Meskipun saat itu Mesir masih menjadi protektorat Inggris setelah Turki yang menguasai Mesir kalah pada Perang Dunia I, Rasyidi hidup di Timur Tengah dan menyaksikan nasionalisme para pelajar dan mahasiswa dari bangsa Melayu (Indonesia-Malaya) yang belajar di negara tersebut.
Organisasi
Muhammad Rasyidi adalah seorang yang senang berorganisasi dan aktif dalam kegiatan Organisasi Pelajar dan Mahasiswa dari tanah Melayu di Mesir. Aktivitasnya dalam organisasi tersebut pada akhirnya membantunya mendapatkan pengakuan de facto dari negara-negara Arab setelah Indonesia merdeka.
Setelah lulus dengan gelar Sarjana Muda Filsafat dari Universitas Kairo pada tahun 1938, Muhammad Rasyidi kembali ke Indonesia dan menjadi guru di Solo. Kemudian, dia bekerja sebagai pegawai negeri selama penjajahan Jepang. Meskipun begitu, semangat nasionalisme Muhammad Rasyidi tetap tinggi.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Haji Muhammad Rasyidi diangkat sebagai Menteri Negara Kabinet Syahrir I yang dibentuk pada tanggal 14 November 1945, dan kemudian menjadi Menteri Agama Kabinet Syahrir pada tanggal 3 Januari 1946. Saat itu, Departemen Agama belum ada dan baru dibentuk pada tanggal tersebut. Oleh karena itu, setiap tanggal 3 Januari, keluarga Departemen Agama memperingati Hari Bakti Departemen Agama. Muhammad Rasyidi adalah Menteri Agama RI pertama.
Meskipun Haji Rasyidi mengalami banyak keterbatasan dalam mengembangkan bidang keagamaan karena situasi yang sulit, terbatasnya sarana, dan masa jabatannya yang pendek (Kabinet Syahrir II menyerahkan mandat kepada Presiden Sukarno pada tanggal 2 Oktober 1946), dia berhasil meletakkan dasar-dasar penting untuk Departemen Agama.
Setelah meninggalkan jabatannya sebagai Menteri Agama, Haji Muhammad Rasyidi terjun ke dunia diplomasi sebagai sekretaris delegasi Indonesia ke Timur Tengah yang dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim. Hasil utama dari kunjungan diplomatik ke negara-negara Timur Tengah tersebut adalah pengakuan secara de facto dari negara-negara di kawasan tersebut terhadap Indonesia yang baru merdeka.
Indonesia pertama kali diakui oleh sebuah negara bukan dari negara-negara Barat atau Asia Timur, melainkan dari Timur Tengah. Pada tanggal 10 Juni 1947, Konsul Mesir di Calcutta, Abdul Mounim, mengunjungi Indonesia dan memberikan pengakuan de facto atas Indonesia atas nama Kerajaan Mesir. Kemudian, pengakuan serupa diberikan oleh Libanon (29 Juni 1947), Syria (2 Juli 1947), Iraq (16 Juli 1947), Afghanistan (23 September 1947), Arab Saudi (24 November 1947), dan Yaman (Juli 1948), serta beberapa negara lainnya.
Sebagai seorang diplomat, Haji Muhammad Rasyidi juga aktif dalam Konferensi Asia di New Delhi yang membahas nasib Indonesia. Indonesia diwakili oleh AA Maramis, SH (Menteri Luar Negeri PDRI), Utoyo, SH (Dubes RI di Singapura), DR. Sudarsono (Dubes RI di India), dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo (Konsul RI di Amerika Serikat), selain Haji Rasyidi sendiri. Konferensi ini sangat memperhatikan nasib Indonesia yang baru merdeka dan terus dihadapkan oleh serangan tentara sekutu dan NICA.
Setelah Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan, Haji Muhammad Rasyidi tetap aktif sebagai seorang diplomat. Dia menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi dan Mesir pada tahun 1950-1952, Iran dan Afghanistan pada tahun 1952-1953, dan kemudian menjadi Kepala Direktorat Penerangan Departemen Luar Negeri pada tahun 1953-1955. Selanjutnya, Haji Rasyidi menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Pakistan pada tahun 1956.
Meskipun sibuk dengan tugasnya sebagai seorang diplomat dan kegiatan lainnya, Haji Muhammad Rasyidi tetap melanjutkan pendidikannya. Sebagai seorang ulama intelek yang terkenal, ia berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1956. Gelar tersebut menunjukkan kedalaman ilmunya dalam bidang filsafat dan menjadikan Haji Muhammad Rasyidi sebagai seorang ahli filsafat yang sangat dihormati.
Setelah tidak aktif dalam dunia diplomasi dan birokrasi, Dr. Haji Muhammad Rasyidi lebih banyak mengabdikan dirinya pada dunia ilmu, filsafat, dan pendidikan keislaman. Ia diangkat sebagai guru besar dalam ilmu keislaman dan filsafat di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Selain itu, ia juga menjadi anggota Associate Professor di Universitas McGill di Montreal, Kanada, serta Kepala Kantor The World Moslem League di Jakarta. Haji Muhammad Rasyidi juga merupakan tokoh penting dalam Muktamar al-Islami yang berpusat di Karachi, Pakistan dan Rabithah Alam al-Islami yang berpusat di Mekah. Di Indonesia, hanya sedikit orang yang terlibat dalam organisasi Islam internasional ini, antara lain Haji Muhammad Rasyidi, DR. H. Muhammad Natsir, dan KH. Ahmad Syaikhu.
Prof. Dr. H. Muhammad Rasyidi adalah Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan sekaligus tokoh pemegang kunci bantuan negaranegara Timur Tengah terhadap Indonesia. Sulit rasanya mendapatkan bantuan dari negara-negara Timur Tengah apabila tidak melalui tokoh ini ataupun Muhammad Natsir yang mendapatkan kepercayaan dari negaranegara tersebut.
Karya
Sebagai seorang ulama, Prof. Dr. H. Muhammad Rasyidi dikenal sebagai tokoh ulama pembaharu. Beliau sangat kritis terhadap apa yang disebut sebagai talqid buta, dan juga tidak ragu untuk memberikan kritikan terhadap pemikiran tokoh-tokoh pembaharu yang dianggapnya mengadopsi model Mu’tazilah. Di antara para guru besar ilmu-ilmu keislaman, Haji Muhammad Rasidi merupakan sosok yang paling dihormati oleh Pemerintah Indonesia dan rakyatnya, terutama di kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan oleh kedalaman ilmu, ketajaman pemikirannya, keluasan wawasan dan keterbukaannya, serta pengaruh yang besar di Timur Tengah.
Profesor Rasyidi memberikan tanggapan yang tegas terhadap pemikiran Dr. Nurcholis Madjid dan Dr. Harun Nasution yang dianggapnya telah melakukan upaya pendangkalan ajaran agama. Ia menulis buku berjudul “Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisme” (1972) sebagai kritik terhadap buku karya Nurcholis Madjid yang berjudul “Koreksi terhadap Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku ini juga merupakan kritikan terhadap Dr. Harun Nasution yang disebut sengaja menghidupkan kembali Mu’tazilah pada zaman modern.
Tanpa ragu, Prof. Dr. Muhammad Rasyidi juga menulis buku dengan judul “Sikap Umat Islam terhadap Ekspansi Kristen”. Buku ini membahas tentang arus kristenisasi yang semakin meningkat di Indonesia dan bagaimana umat Islam dapat menghadapinya. Buku ini dianggap berbahaya oleh sebagian kelompok yang takut terhadap unsur SARA yang terkandung di dalamnya. Namun, isi buku ini memang mencerminkan fakta yang ada di tengah masyarakat dan sangat penting bagi umat Islam untuk tetap waspada.
Selain sebagai ulama yang patut diperhitungkan, Prof. Dr. Haji Muhammad Rasyidi juga seorang pengarang yang produktif. Tulisannya banyak dimuat di berbagai media massa, ceramah-ceramahnya banyak disunting oleh orang, dan bukunya banyak menjadi sumber ilmu keislaman di Indonesia. Beberapa karya ilmiahnya yang terkenal antara lain Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, yang memuat koreksi terhadap sakularisme kebudayaan dan pendidikan yang dianut oleh AMW Pranarka, Ali Murtopo dan lain-lain, Filsafat Agama, Islam di Jaman Modern, Keutamaan Hukum Islam, Islam dan Kebatinan, Di sekitar Kebatinan, Mengapa Aku Tetap Memeluk Islam, Islam Menentang Komunisme, Agama dan Etika, Empat Kuliah Islam di Perguruan Tinggi, Apakah itu Syi’ah? Hendak Dibawa ke Mana Umat Ini? dan banyak lagi karya ilmiah lainnya.