Tokohwanita.co.id – Nyi Ageng Serang, juga dikenal sebagai Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edhi, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau lahir di Serang, yang terletak sekitar 40 km sebelah utara Solo, pada tahun 1752.
Ayahnya adalah Pangeran Natapraja, penguasa Serang dan panglima perang Pangeran Mangkubumi ( Sri Sultan Hamengkubuwono I). Pangeran Natapraja merupakan Adipati Purwodadi yang masih keturunan waliyullah pejuang penyebaran dakwah islam di jawa yaitu Sunan Kalijaga . Setelah ayahnya meninggal, beliau mengambil alih posisinya dan diberi nama Nyi Ageng Serang.
Selama awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang memimpin pasukan di atas tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Ia bertempur di beberapa daerah, termasuk Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang, serta ditugaskan untuk mempertahankan daerah Prambanan dari serangan Belanda. Salah satu strategi perang yang identik dengan beliau adalah penggunaan lembu (daun alas hijau) untuk penyamaran diri dari lawan.
Sebagai sosok wanita pemberani beliau juga dinobatkan menjadi penasihat perang dan turut ikut andil dalam berbagai peperangan ditemani menantunya, Raden Mas Pak-pak. Dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia karna keberanian perangnya, beliau juga seorang Ibu yang hebat di lingkup keluarga dimana telah lahir dari garis keturunan beliau sosok–sosok hebat di Nusantara. Salah satunya R.M. Soewardi Surjaningrat atau Ki Hajar Dewantara sosok Pelopor Pendidikan di Indonesia yang merupakan cucu dari Sang Panglima Perang Wanita Nyi Ageng Serang.
Maka tidak salah apabila kita berjalan ke Kulon Progo, monumen Nyi Ageng Serang yang berwibawa sambil memacu kota menghiasi pusat kota. Kini nama beliau juga diabadikan menjadi nama Bandara Internasional di Yogyakarta yaitu NYIA (Nyi Ageng Serang International Airport) atau yang lebih sering dikenal sebagai New Yogyakarta International Airport.
Tirakat, Tasawwuf dan Pengabdian pada Islam
Keberanian beliau terpatri sejak masa muda, ia tekun mengikuti latihan militer dan pendidikan bersama pemuda pria lainnya di Kraton Yogyakarta. Baginya selama tanah air masih di jajah semua orang berhak ikut andil untuk kemerdekaan meskipun dirinya terlahir sebagai perempuan.
Sang Ayah adalah sosok yang pandai perihal agama, dan kepadanya ia belajar bagaimana seorang Panglima juga membutuhkan pondasi spiritual yang kuat. Dalam sejarah, banyak orang yang menuturkan bahwa Nyi Ageng Serang kerap kali bertapa atau menjalani riyadhah dengan banyak berdzikir sebelum berangkat berperang.
Tirakat perjuangan beliau terbukti saat beliau meninggalkan kemewahan hidup di Kraton Yogyakarta dan memilih berjuang di pelosok desa. R.A Kustiah Wulaningsih pernah menjadi istri dari Sri Sultan Hamengkubuwono II, beliau diperistri oleh Sang Raja karna kecerdasan, keberanian dan sosok wanita yang bersahaja.
Namun beliau memilih bercerai dari Sri Sultan karna pendiriannya “ Apalah arti hidup kalau hanya memikirkan kepentingan diri sendiri lebih baik membicarakan nasib rakyat”. Jawaban dari gagasan beliau membuat Sang Raja malu karna hanya memikirkan soal cinta, dan membuatnya beliau lebih sadar untuk lebih mengutamakan rakyat.
Lebih dari seorang Panglima, tapi beliau adalah wanita yang mampu mengubah pemikiran raja menjadi lebih baik. Pada akhirnya beliau menikah lagi dengan Pangeran Serang I (Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo pada tahun 1794-1852.
Nilai kedekatan beliau kepada Allah, membuat beliau menjadi sosok Wali Perempuan di tanah jawa yang menjauhi ketenaran. Beliau menepi di sebuah desa terpencil di Kulon Progo untuk mengajarkan agama islam kepada penduduk sekitar notoprajan hingga wafat. Kemudian dimakamkan di Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Patriotisme Nyi Ageng Serang abadi dalam semboyannya “Biarkan aku mati dengan sukarela untuk kepentingan bangsaku seribu tahun nanti”
Penulis : Ning Rochmatul Mala, PP. Rohmatul Umam Yogyakarta