Tokoh Wanita – KH. Ahmad Warson Munawwir dilahirkan pada hari Jumat Pon, tanggal 30 November 1934 Masehi atau 22 Sya’ban 1353 Hijriyah dalam tahun kalender Jawa yang disebut Wawu. Sejak dulu, tradisi dalam keluarganya ialah memberikan nama kepada anak-anak sesuai dengan awalan tahun kelahiran mereka dalam penanggalan Jawa. Contohnya, Mbah Zainal lahir di tahun Zaa, Mbah Dalhar di tahun Dal. Oleh karena itu, nama Mbah Warson yang diawali huruf Wawu merujuk pada tahun kelahirannya, yaitu tahun Wawu.
KH. Ahmad Warson Munawwir adalah anak kandung dari KH. Munawwir (Mbah Munawwir) melalui garis keturunan Nyai Hj. Sukis. Setelah Mbah Munawwir meninggal pada tahun 1942 Masehi, kepemimpinan Pondok Pesantren Krapyak diserahkan kepada menantunya, yaitu KH. Ali Maksum (Mbah Ali). Kakak ipar inilah yang kemudian menjadi guru bagi KH. Ahmad Warson Munawwir (Mbah Warson). Bahkan, selama hidupnya, ulama yang lahir pada tahun 1934 Masehi ini tidak pernah belajar kepada guru lain selain Mbah Ali. Sebagai guru sekaligus kakak ipar, Mbah Ali telah mendampingi dan membimbing beliau dalam menyelesaikan Kamus Al-Munawwir.
Pada tahun 1970 Masehi, Mbah Warson menikah dengan Nyai Hj. Khusnul Khotimah dan memiliki dua anak, yaitu H. M. Fairus Warson dan Hj. Qory Aina, keduanya merupakan Hafidz Al-Quran. KH. Ahmad Warson Munawwir terkenal sebagai penyusun kamus Arab-Indonesia terlengkap dengan ketebalan mencapai 1634 halaman yang diberi nama Kamus Al-Munawwir. Proses penyusunan kamus ini dilakukan saat beliau menjadi santri di bawah bimbingan KH. Ali Maksum.
Kisah penyusunan Kamus Munawwir bermula ketika Kiai Ali Maksum meminta Kiai Warson untuk membuat sebuah kamus. Setelah wafatnya Kiai Munawwir, Kiai Ali Maksum menjadi pendidik bagi anak-anaknya, termasuk Kiai Warson dan Kiai Zainal. Kiai Warson relatif hanya belajar dari Kiai Ali Maksum, sehingga Kiai Ali Maksum dijuluki sebagai Murabbi ar-Ruh atau pembentuk karakter bagi Kiai Warson Munawwir.
Setelah menyelesaikan naskah kamus, Kiai Warson tidak segera menyerahkannya kepada penerbit untuk dicetak. Ia membawa naskah tersebut ke Rembang untuk ditunjukkan kepada Kiai Bisri Mustofa (ayahanda Gus Mus). “Mohon diperiksa Kiai, kalau-kalau masih ada kekurangannya,” ujar beliau. Namun, Kiai Bisri enggan menyentuh naskah tersebut. “Buat apa?” kata Kiai Bisri, “Sudah jadi begini ya langsung dicetak saja!” Meskipun Kiai Warson merasa ragu, mengingat Al-Munjid (kamus bahasa Arab ensiklopedik karya dua pendeta Kristen asal Lebanon, Louis Malouf dan Bernard Tottle) masih memiliki banyak kesalahan, Kiai Bisri dengan tegas menyatakan bahwa meskipun ada kesalahan, tetap banyak manfaatnya. Kiai Bisri menyarankan agar pembaca yang mengoreksi dan menyempurnakan kamus tersebut, bahkan mungkin orang lain bisa membuat kamus baru untuk melengkapi Kamus Munawwir. Kiai Warson pun merenung atas nasihat bijak tersebut.
KH. Warson akhirnya mendapatkan keyakinan untuk menerbitkan naskah kamus tersebut. Dengan saran dari KH. Ali Maksum, kakak iparnya, kamus tersebut diberi judul “Al-Munawwir” sebagai penghormatan kepada KH. Munawwir, ayahanda beliau sendiri. “Judul kitab yang simpel seperti kamusnya Warson itu enak dan mudah diingat,” kata KH. Ali Maksum suatu kali, “Jangan seperti mbahmu, bikin judul yang aneh-aneh seperti ‘Al Ibriz’ (artinya: emas murni – Terong Gosong). Mbok tadinya kasih judul ‘Al Bisri’ gitu saja kan enak to?” lanjut KH. Ali Maksum.
KH. Warson Munawwir merupakan ulama yang meninggalkan karya monumental yang abadi, terutama bagi kalangan santri yang ingin memahami kitab-kitab berbahasa Arab. Kamus Al-Munawwir menjadi manifestasi ilmu ulama yang berasal dari Krapyak. Kamus ini telah mendapatkan reputasi yang tinggi dan digunakan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara.
Proses menyusun kamus terlengkap ini memerlukan perjuangan yang panjang dan tidak mudah. Dengan belajar langsung dari KH. Ali Maksum (Mbah Ali/Mbah Maksum), yang terkenal tegas dalam mengajar muridnya, KH. Ahmad Warson Munawwir berhasil menjadi murid yang mampu menguasai pelajaran sejak usia belasan tahun. Bahkan, beliau sudah menjadi guru mengaji untuk kitab Alfiyah, suatu tugas yang biasanya diajarkan oleh Mbah Ali.
Karya monumental tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1984 Masehi dan terus dicetak ulang. Setiap tahun, sekitar 10 hingga 15 ribu eksemplar Kamus Al-Munawwir didistribusikan, hingga mencapai cetakan ke-14. Selain didorong dan dibimbing oleh Mbah Ali Maksum, penyelesaian kamus ini juga didorong oleh dorongan dari Kiai Bisri Mustofa (Rembang) dan KH. Hamid (Pasuruan), yang menjadi pemicu agar segera menyelesaikan Kamus Al-Munawwir.
Seiring berjalannya waktu, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia kini diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Progressif, Surabaya. Kamus ini selesai ditulis setelah Mbah Warson menikah. Kamus Al-Munawwir sangat bermanfaat bagi ribuan santri yang ingin mendalami bahasa Arab, tujuannya agar mereka mampu membaca dan memahami isi berbagai kitab, termasuk kitab kuning yang sering dipelajari oleh santri-santri salaf.
Selain sebagai penyusun kamus, Mbah Warson muda juga aktif sebagai guru yang disukai para santri karena kecakapan dan keramahannya. Pada usia muda, beliau telah memiliki kemampuan yang cukup untuk mengajar berbagai mata pelajaran. Di luar kelas, Mbah Warson menjadi teman sebaya yang ramah bagi para santri. Di Pondok Pesantren Krapyak, beliau mengampu mata pelajaran nahwu, shorof, dan bahasa Inggris. Selain itu, berkat pengetahuannya yang luas, beliau juga mengajar mata pelajaran Tarikh.
KH. Warson juga dikenal sebagai seorang yang aktif dalam organisasi, terlihat dari perannya dalam pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sebagai pengagas Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Salah satu harapan beliau terhadap Nahdatul Ulama (NU) dan para Nahdliyin adalah agar NU dapat berpartisipasi dan menyuarakan pandangan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Namun, beliau juga memberi pesan hati-hati dalam berpolitik, dengan mengatakan, “Wong maen politik ki ora maksiat ae wis bejo” (orang bermain politik itu tak bertindak maksiat saja sudah beruntung). Pesannya mengingatkan agar tidak hanya mencari ganjaran, melainkan juga menjauhi perbuatan maksiat saat berkecimpung dalam dunia politik.
Tiga tokoh yang telah memberikan kontribusi besar bagi Krapyak adalah KH. Munawwir sebagai pendiri Pondok Pesantren Qur’an pertama di Indonesia, KH. Ali Maksum sebagai bagian dari tim penerjemah Qur’an Departemen Agama serta anggota Konstituante, dan KH. Ahmad Warson Munawwir sebagai penyusun Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia yang terlengkap di Tanah Air.
Pada akhir hayatnya, beberapa hari sebelum wafat, KH. Ahmad Warson Munawwir bermimpi bertemu dengan kakak iparnya, KH. Ali Maksum. Dalam mimpinya, KH. Ali Maksum mengajak beliau untuk ikut dengannya, dan sebagai wujud takzim kepada gurunya, beliau menyetujui ajakan tersebut. Ulama yang menjadi pendidik itu wafat pada usia 79 tahun pada hari Kamis, 07 Jumadil Akhir 1434 H atau 18 April 2013 Masehi, pukul 06.00 WIB. KH. Ahmad Warson Munawwir meninggalkan warisan ilmu dan keteladanan bagi orang-orang di sekitarnya, dan kematian beliau dirasakan sebagai kehilangan yang mendalam oleh ribuan orang yang memberikan penghormatan terakhir di Al-Munawwir Komplek Q Krapyak.
Sumber: Buku Abad Kejayaan Ulama Nusantara