Oleh: Sholihah (Jamaah Muhibbin Ning Atikoh Ganjar Nusantara)
Kita tentu tidak asing dengan kalimat berikut:
الاُمّ مدرسة الأُولى اذا اعددتها اعددت شعبا طيّبا
“Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik.”
Seorang ibu memiliki peran yang luar biasa dalam membentuk generasi yang hebat dan memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan bangsa. Meskipun tidak seperti sekolah formal dengan gedung, papan, projektor, dan RPP, namun ibu merupakan sekolah utama bagi anak-anaknya. Ibu tidak hanya mendidik anak-anaknya, tetapi juga mampu membimbing mereka menjadi insan kamil (manusia yang ideal), mengarahkan kebaikan, dan mengajarkan makna kehidupan, termasuk ibadah kepada Allah, berbagi dengan sesama, mensyukuri nikmat-Nya, dan nilai-nilai positif lainnya.
Selain itu, sosok ibu juga mampu menuntun anak-anaknya menjadi pribadi yang utuh, cinta tanah air, menghormati sesama, dan menjalankan kewajiban mereka. Jika seorang konselor profesional dapat memberikan pelayanan yang baik kepada kliennya, seorang ibu juga mampu memberikan pelayanan terbaik kepada anak-anaknya sejak usia dini hingga mereka mampu memberikan kontribusi positif bagi bangsa.
Ibu memiliki ikatan batin yang kuat dengan anak-anaknya, sehingga mampu merasakan permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Dengan penuh kesabaran, kasih sayang, ketulusan, dan keikhlasan, seorang ibu memberikan pelayanan yang tidak hanya membimbing, tetapi juga memberikan saran dan solusi terbaik terhadap permasalahan anak-anaknya. Ibu adalah sosok guru kehidupan bagi anak-anaknya sepanjang zaman, memberikan pelayanan tanpa mengharapkan imbalan, dan turut bahagia jika anak-anaknya dapat memberikan manfaat kepada sesama serta memberikan pengaruh positif pada lingkungannya.
Begitupun dengan Ning Atikoh. Meskipun beliau sibuk menjadi aktivis kemanusiaan dengan banyak aktivitas di luar, tetapi pola pengasuhan terhadap anaknya, Muhammad Zinedine Alam Ganjar, tidak kemudian ia tinggal begitu saja. Ning Atikoh, menurut Pak Zainal Abidin, keluarga Ning Atikoh, ketika saya dan tim wawancara di Pondok Roudlotus Sholikhin, Purbalingga, mengungkapkan bahwa pola kepengasuhan Ning Atikoh terhadap putranya sangat positif dan inspiratif. “Mbak Atikoh itu orangnya sederhana, Mas. Dalam mendidik anak pun sederhana. Kadang, Mas Alam itu disuruh mondok sama beliau di salah satu pondok untuk beberapa bulan,” terang Zainal Abidin, pada Senin (30/10/2023).
Sebab itu, tak heran, pola pengasuhan Ning Atikoh menjadi sorotan positif di kalangan Nyai dan Ning di Jawa Barat. Khususnya, pujian tulus disampaikan oleh Pengasuh Ponpes Mambaus Sholihin, Ciamis, Nyai Kun Habibah, terhadap keberhasilan Atikoh dalam mendidik anaknya, Muhammad Zinedine Alam Ganjar.
Sebuah momen berkesan bagi Nyai Kun Habibah adalah ketika dia menyaksikan sebuah video yang menunjukkan ketegasan Ning Atikoh melarang sopir membuka pintu untuk putranya. Nyai Kun Habibah memberikan apresiasi tinggi atas inspirasi yang diambil dari tindakan tersebut. Dalam pertemuan antara Nyai dan Ning, dia menyampaikan, “Itu inspiratif sekali. Patut dicontoh bagi kami para gus, nyai. Bisa disampaikan Bu Nyai Atikoh, tips dan triknya. Khususnya bagi kami para Nyai dan Ning agar anak kami bisa menjadi seperti Mas Alam yang tumbuh dengan baik.”
Tidak hanya Nyai Kun Habibah, Nyai Ela Kholilah dari PP Al Falah 2, Cicalengka, Bandung, juga memberikan apresiasi atas keteladanan yang ditunjukkan oleh Atikoh dalam mendidik anak. Menurutnya, Atikoh memperlihatkan kepatutan dan kesederhanaan yang menginspirasi. “Tadi banyak ibu nyai mengagumi putranya, ingin tahu bagaimana cara mendidik sehingga menjadi seperti yang hari ini kita lihat, pintar dan akhlaknya sangat dijaga,” ucapnya.
Dalam diskusi tersebut, Ning Atikoh menjelaskan lebih lanjut mengenai larangan membuka pintu dan membawakan barang pribadi untuk anaknya. Atikoh mengungkapkan bahwa larangan tersebut bertujuan agar Alam lebih menghormati orang tua. Ia menekankan pentingnya mengajarkan anak untuk tetap rendah hati dan tidak mendapat perlakuan istimewa dari orang yang lebih tua. “Jadi biar dia menghormati. Dan saya minta agar para driver itu ya memperlakukan Alam seperti anak sendiri,” tutur Atikoh.
Selain apresiasi terhadap pola asuh yang bijak, para Nyai dan Ning juga menyampaikan kekaguman mereka terhadap kedekatan Atikoh dan Ganjar dengan masyarakat. Mereka menggambarkan Ning Atikoh sebagai sosok yang memiliki visi misi baik ke depan dan potensial menjadi ibu negara yang luar biasa. Kesan positif juga terpancar dari kesederhanaan Ning Atikoh, yang dianggap sebagai teladan bagi semua kalangan. “Sosoknya sangat gembira, kesederhanaannya, Alhamdulillah itu sangat menyentuh sekali. Saya sebagai perempuan rasanya terutama di kalangan pesantren, beliau lebih baik daripada kami,” ungkap salah satu peserta diskusi.
Selain dalam hal mengasuh anak, para peserta diskusi juga menyoroti isu pendidikan. Mereka mencermati kepemimpinan Ganjar yang sangat peduli terhadap pendidikan. Harapan besar diungkapkan untuk lebih memperhatikan pesantren dan sekolah-sekolah keagamaan kedepannya. Keterlibatan aktif pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di lembaga-lembaga keagamaan diharapkan dapat memberikan dampak positif yang lebih luas bagi masyarakat.
Sosok Ning Atikoh tidak hanya menjadi teladan dalam pola asuh yang bijak, tetapi juga sebagai figur yang memiliki potensi untuk berperan dalam menginspirasi perubahan positif, terutama di bidang pendidikan. Keterlibatan dan kontribusi nyata Atikoh dan Ganjar dalam masyarakat tidak hanya menjadi semangat bagi para Nyai dan Ning di Jawa Barat, tetapi juga memberikan harapan bagi perkembangan pendidikan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik di masa depan.