KH Ali Maksum adalah seorang ulama yang sangat dikenal di Indonesia, terutama di kalangan Nahdliyin pada akhir abad ke-20. Beliau memiliki peran penting dalam Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, di mana beliau menjabat sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriyah. Pengaruhnya tidak hanya berasal dari jabatan formalnya, tetapi juga dari pengetahuan yang luas dan peran yang aktif dalam bidang ilmiah, spiritual, dan sosial. Ali Ma’sum memiliki kharisma yang memengaruhi banyak orang, seperti halnya ulama-ulama besar lainnya.
Ali bin Ma’sum lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di Soditan, Lasem, Kabupaten Rembang, di pantai utara Jawa Tengah. Beliau adalah anak pertama dari Kiai Haji Ma’sum (lebih dikenal sebagai Mbah Ma’sum) dan Nuriyah, putri dari Kiai Muhammad Zein. Mbah Ma’sum sendiri adalah pendiri dan pemimpin Pondok Pesantren al-Hidayat di Kampung Soditan, Kota Lasem, Kabupaten Rembang.
Sebagai putra seorang kiai yang mengelola pesantren, Ali Ma’sum pasti telah menerima pendidikan agama Islam sejak masa kecilnya. Meskipun sebagai putra kiai yang dihormati (sering dipanggil Gus), Ali Ma’sum tidak mengandalkan semata-mata pada kedudukan ayahnya. Sebagai seorang Gus, dia rajin belajar seperti halnya santri lainnya, terutama karena dia diharapkan menjadi penerus ayahnya sebagai kiai di masa depan.
Ali Ma’sum belajar langsung dari ayahnya dan juga dari santri-santri senior di Pesantren al-Hidayat. Selain itu, dia juga belajar dari ulama-ulama di kampungnya, yang kebanyakan merupakan kerabatnya. Lasem terkenal sebagai kota di pantai utara Jawa yang kaya akan ulama pesantren. Ketika mendekati usia dewasa, Ali Ma’sum mulai belajar di pesantren yang lebih jauh. Dia pernah menuntut ilmu di bawah bimbingan Kiai Amir di Pekalongan, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan ke Pesantren Termas, Kabupaten Pacitan, di mana dia berguru kepada Kiai Dimyati, sekitar tahun 1927.
Pesantren Termas di Pacitan terkenal karena salah satu tokohnya menjadi ulama besar di Mekah, yang merupakan ahli hadis terkemuka pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Tokoh tersebut adalah Syeikh Mahfudz Attarmisi, yang juga merupakan kakak kandung dari Kiai Dimyati bin Abdullah, yang saat itu memimpin Pesantren Termas saat Ali Ma’sum mondok di sana. Selama sekitar delapan tahun, Ali Ma’sum belajar di Pesantren Termas, bahkan ia sempat menjadi ustadz di pesantren tersebut.
Selama menjadi santri di Termas, Ali Ma’sum dari Lasem menunjukkan kecerdasan yang luar biasa, sehingga Kiai Dimyati memberikan restu kepada Ali Ma’sum yang baru berusia sekitar 20 tahun untuk mendirikan madrasah diniyah di kompleks pesantren. Ali Ma’sum kemudian menjadi pendiri dan kepala madrasah tersebut, dengan bantuan dari para muridnya sendiri, seperti Abdul Mu’thi Ali yang menjabat sebagai wakil kepala madrasah. Nama terakhir ini kemudian menjadi Menteri Agama Republik Indonesia pada periode 1971-1978.
Dengan didirikannya madrasah yang menggunakan sistem klasikal di tengah pesantren yang menggunakan sistem halaqah, Kiai Ali Ma’sum menunjukkan dirinya sebagai seorang pembaharu di Pesantren Termas. Murid-muridnya di Termas sangat banyak, di antaranya adalah K.H. Azhar Basyir yang kemudian menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Rintisan yang dibuat oleh Kiai Ali Ma’sum di Pesantren Termas, Pacitan, tetap berlanjut hingga saat ini, dilanjutkan oleh para penggantinya.
Setelah delapan tahun mondok di Pesantren Termas sambil menjadi Kepala Madrasah di sana, Kiai Ali Ma’sum pulang ke kampung halamannya. Kepulangan ulama muda ini merupakan harapan dari ayahnya untuk membantu mengajar dan mengembangkan Pesantren al-Hidayat di Soditan, Lasem. Pada usia 23 tahun, Kiai Ali Ma’sum menikahi Raden Rara Hasyimah, putri dari Kiai Haji Raden Munawir dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kiai Munawir adalah seorang ulama yang ahli dalam bidang Ulumul Qur’an dan masih berasal dari kalangan bangsawan keraton Yogyakarta (Ngayogyakartahadiningrat). Ulama besar ini adalah saudara kandung dari Kiai Mudzakir, ayah dari Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir, seorang tokoh Muhammadiyah yang terkenal dan pernah menjadi anggota Panitia Sembilan dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, bersama dengan Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Kiai Wahid Hasyim, dan lain-lain.
Setelah menikah, Kiai Ali Ma’sum tetap mengikuti niatnya untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekah. Pada tahun 1938, beliau berangkat naik haji dan tinggal di sana selama dua tahun untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu-ilmu keislaman. Setelah kembali dari tanah suci, Kiai Ali Ma’sum, yang kini telah menjadi seorang ulama muda yang berkembang pesat, semakin menunjukkan kehebatannya sebagai seorang intelektual yang cerdas. Meskipun terkenal sebagai seorang ahli fikih, beliau juga mahir dalam bidang tasawuf. Sebagai seorang hafiz, beliau memiliki penguasaan yang mendalam dalam ‘ilmu alqur’an, termasuk al-qira’ah as-sab’ah, serta ilmu-ilmu lain yang terkait.
Setelah belajar di tanah suci, Kiai Ali kembali ke Lasem, tetapi kemudian harus menetap di Krapyak karena wafatnya mertuanya, Kiai Haji Munawir, sekitar tahun 1941. Kebanyakan dari putra-putra Kiai Munawir belum dewasa pada saat itu, dan pesantren memerlukan kehadiran beliau sebagai seorang ulama yang memiliki visi jauh ke depan. Sejak saat itu, Kiai Haji Ali Ma’sum menetap di Krapyak dan menjadi pengasuh utama pesantren tersebut hingga akhir hayatnya.
Sebagai pesantren yang terletak di pinggiran kota besar dan juga kota pelajar, Krapyak awalnya merupakan pesantren salafiyah yang kemudian berkembang menjadi pesantren modern, meskipun tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang positif. Kiai Ali Ma’sum berhasil melakukan pembaharuan di Pesantren Krapyak, sambil tetap memelihara ciri khas pesantren salafiyah. Pesantren Krapyak dikembangkan sesuai dengan visi yang telah dirintis oleh Kiai Munawir, sebagai Pesantren Alquran. Sebagaimana mertuanya, Kiai Ali Ma’sum terkenal sebagai seorang ahli tafsir, sehingga beliau sangat cocok untuk memimpin pesantren ini. Beliau mengasuh Pesantren al-Munawiriyah, Krapyak bersama saudara-saudara iparnya seperti Kiai Abdul Kadir Munawir, Kiai Warson Munawir, Zaini Munawir, Zainal Abidin Munawir, dan lain-lain.
Pesantren Krapyak berkembang sebagai sebuah lembaga pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan calon sarjana atau intelektual Muslim. Pesantren ini berusaha menyediakan pendidikan yang melengkapi para santrinya dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga mereka menjadi intelektual yang kuat dalam menjaga agama mereka. Selain mencetak ulama-ulama ahli ilmu Alquran, Pesantren Krapyak juga menghasilkan ulama-ulama intelektual atau setidaknya intelektual-santri.
Nama Kiai Haji Ali Ma’sum dikenal luas di kalangan masyarakat karena perannya yang aktif di berbagai sektor, baik sebagai ulama intelektual, ilmuwan, tokoh organisasi Islam, maupun pemimpin umum. Di kalangan intelektual dan dunia kampus, beliau terkenal sebagai seorang dosen tafsir yang ahli dan berpandangan luas. Sebagai seorang ahli tafsir, beliau juga menjadi bagian dari tim Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci Alquran yang dibentuk oleh Menteri Agama pada tahun 1962. Hasil kerja tim tersebut adalah Terjemah Kitab Suci Alquran 30 Juz yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia.
Di lingkungan pesantren, Kiai Ali Ma’sum dihormati sebagai seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang sangat luas. Beliau adalah ahli dalam tafsir dan ilmu-ilmu Alquran, fikih, serta bahasa Arab dan ilmu-ilmu terkaitnya. Beliau juga menguasai berbagai kitab rujukan, baik dari ulama-ulama tradisional maupun modernis. Di kalangan Nahdlatul Ulama, beliau juga dikenal sebagai ulama yang berpengetahuan dan berwawasan luas dalam bidang keislaman dan kemasyarakatan. Beliau memiliki peran penting dalam NU, termasuk sebagai anggota Konstituante yang mewakili Partai Nahdlatul Ulama, dan juga menjabat sebagai Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta selama bertahun-tahun.
Kiai Haji Ali Ma’sum adalah sosok yang sangat dihormati dan berpengaruh dalam dunia keislaman Indonesia, dengan kontribusi besar dalam pendidikan, tafsir, organisasi Islam, dan politik.
Pengangkatan Kiai Ali Ma’sum sebagai Rais Aam Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama dipengaruhi oleh statusnya sebagai ulama besar dan kemampuannya untuk menyatukan pondok pesantren. Pada saat yang sama, Prof. KH. Anwar Musaddad tidak memiliki pondok pesantren. Setelah Pemilu 1982, terjadi perpecahan di dalam NU menjadi dua kubu, yaitu Kubu Cipete di bawah pimpinan KH. DR. Idham Khalid dan Kubu Situbondo di bawah KH. Ali Ma’sum dan KH. As’ad Syamsul Arifin. Perselisihan antara kedua kubu ini berlangsung selama dua tahun (1982-1984) dan meninggalkan dampak yang terasa dalam beberapa dasawarsa.
Setelah diselenggarakan Muktamar NU di Situbondo pada Desember 1984, Kiai Haji Ahmad Siddiq terpilih sebagai Rais Aam Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama, sementara Kiai Ali Ma’sum, Kiai Dr. Idham Khalid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin duduk dalam lembaga Musytasar (Penasihat) PBNU bersama beberapa tokoh lainnya. Posisi Kiai Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam dipertahankannya dalam Muktamar NU di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (yang dipimpin oleh Kiai Ali Ma’sum) pada akhir November 1989.
Meskipun Kiai Ali Ma’sum adalah seorang ilmuwan Islam dan ulama intelektual, namun dia tidak memiliki kemampuan komando yang kuat seperti Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, atau Kiai Bisri Syansuri. Kiai Ali Ma’sum lebih dikenal karena kedalaman ilmu dan wawasannya yang luas, serta pengaruhnya terhadap umat. Meskipun demikian, pengakuan atas keulamaan beliau datang tidak hanya dari kalangan Nahdliyin, tetapi juga dari kalangan ulama-ulama pembaharu, termasuk dari Muhammadiyah dan birokrat pusat maupun daerah.
Pada Muktamar NU ke-28 di Pesantren Krapyak yang dipimpin oleh Kiai Ali Ma’sum, beliau sudah menderita sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Meskipun dalam kondisi sakit dan usia lanjut, beliau tetap menerima kedatangan para peserta muktamar, sesuai dengan kesepakatan PBNU. Seminggu setelah Muktamar NU, masyarakat Islam, khususnya Nahdliyin, dikejutkan oleh berita duka dari Krapyak, Yogyakarta, bahwa Kiai Haji Ali Ma’sum telah wafat pada tanggal 7 Desember 1989, pada usia 77 tahun. Kepergiannya meninggalkan kekosongan besar dalam kepemimpinan spiritual, tetapi pengaruh dan warisannya akan tetap hidup di tengah masyarakat, sesuai dengan perkembangan Islam di masa mendatang.
Sumber:
Suprapto, M. Bibit. 2009. Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia