Organisasi-organisasi Islam yang menekankan pada bidang pendidikan memainkan peran utama dalam membawa kemajuan bagi masyarakat Islam. Sejak tahun 1916, Mathlaul Anwar, sebuah organisasi Islam yang fokus pada bidang dakwah, sosial, dan pendidikan, telah berkembang dan memberikan pengaruh yang besar di Banten.
Ulama-ulama Banten yang visioner memberikan warisan yang berharga dengan mendirikan sebuah lembaga yang terus hidup dan berkembang sampai saat ini. Salah satu pendiri utamanya, KH. Mas Abdurrahman, adalah seorang ulama dengan pengaruh yang besar dan memiliki hubungan dengan keluarga bangsawan Banten, sehingga ia memakai gelar “Mas” (berasal dari Raden Mas) sebagai bagian dari namanya.
KH. Mas Abdurrahman lahir pada tahun 1875 di Dusun Janaka, Desa Ciput, Kecamatan Latuhan, Kabupaten Pandeglang (saat ini termasuk Propinsi Banten, dahulu bagian dari Propinsi Jawa Barat). Tempat kelahirannya, Dusun Janaka, terletak di bawah bukit Haseupan dan berhadapan dengan Selat Sunda. Ayahnya, Kiai Jamal, adalah seorang ulama yang terkenal di kampungnya dan merupakan bagian dari keluarga Kerajaan Banten. Karena latar belakang keluarga yang taat beragama, Abdurrahman memperoleh pendidikan agama yang baik sejak masa kanak-kanak dari lingkungan keluarganya sendiri.
Setelah memasuki masa remaja, orang tuanya mengirimkan KH. Mas Abdurrahman ke Pondok Pesantren Kedung Pinang, yang berada tidak jauh dari rumah, untuk belajar kepada Kiai Ruyani, pemimpin Pondok Pesantren tersebut. Selain itu, ia juga belajar kepada Kiai Shahib di wilayah yang sama. Kedua ulama tersebutlah yang membimbing dan mendidik Abdurrahman mengenai dasar-dasar ilmu agama, khususnya Alquran, ilmu tauhid, dan fikih pada tahap awal.
Setelah itu, KH. Mas Abdurrahman berkunjung ke Jawa Tengah untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Sarang, Rembang, yang dibimbing oleh Kiai Zubair dan Kiai Arif, khususnya untuk memperdalam ilmu Alquran dan ilmu bahasa (nahwu, sharaf). Setelah belajar di Pondok Pesantren Sarang, Rembang, ia kembali ke Banten dan belajar di Pondok Pesantren Agung Caringin, Pandeglang, yang dibimbing oleh KH. Tubagus Asnawi, kemudian pindah ke Pondok Pesantren Purwakarta untuk belajar kepada Ajengan Tubagus Bakhri, pemimpin pesantren tersebut.
Pendidikan Mas Abdurrahman tidak berhenti pada belajar di pesantren-pesantren, bahkan ia bertekad untuk menambah wawasan dan ilmu di tanah suci Mekah al-Mukarramah. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut dengan belajar kepada berbagai ulama al-Jawi dan ulama asli Timur Tengah. Salah satu gurunya adalah Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, seorang ulama besar dan ahli hadist dari Pacitan, Jawa Timur yang lama tinggal di Mekah.
Dengan kemungkinan yang sangat besar, Mas Abdurrahman juga memiliki kesempatan untuk belajar dan berguru kepada para ulama besar, seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, ulama besar asal Banten, Syeikh Abdul Karim al-Bantani, Syeikh Mukhtar at Tharid (dari Bogor), Syeikh Muhammad Bakir (dari Yogyakarta), dan Syiekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (dari Minangkabau). Sejumlah besar dari mereka juga merupakan guru dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Setelah belajar di tanah suci, KH. Mas Abdurrahman memutuskan untuk menetap di Menes, Kabupaten Banten, atas permintaan dari beberapa ulama setempat, seperti KH. Sholeh Kenanga, KH. Yasin, KH. Dawud, dan lainnya. Di sini, KH. Mas Abdurrahman mulai membagikan ilmu yang dia pelajari selama ini, baik dari pesantren-pesantren di tanah air maupun di tanah suci Mekkah. Pada saat itu, masyarakat di Menes tergolong sebagai masyarakat yang memiliki akhlak yang sangat rusak. Perjudian, kemaksiatan, dan hal-hal lain yang buruk sangat merajalela, seperti halnya di daerah lain.
Tetapi, justru di wilayah tersebut dipilih oleh seorang Kiai untuk menetapkan fondasi sebuah Pondok Pesantren untuk memerangi kemaksiatan dan kemungkaran serta mengajak masyarakat untuk bertobat dan membentuk akhlak yang baik. Awalnya, Kiai Abdurrahman memulai dengan sistem pendidikan halaqah, namun kemudian beralih ke metode pendidikan klasikal dengan membentuk Madrasah.
Tahun 1916, Kiai Abdurrahman memimpin berdirinya sebuah lembaga pendidikan Islam yang bertumbuh menjadi organisasi sosial keagamaan bernama Mathlaul Anwar, didukung oleh Kiai Sholeh Kenanga, Kiai Muhammad Yasin, dan lainnya. Mathlaul Anwar (MA) berkembang dengan cepat menjadi sebuah lembaga pendidikan dan menjadi organisasi terkemuka, baik di Karesidenan Banten sendiri maupun daerah sekitarnya, terutama Karesidenan Lampung.
Madrasah-madrasah yang tergabung di bawah bendera Mathlaul Anwar disebut dengan Madrasah Mathlaul Anwar, dengan markas utama terletak di Madrasah Mathlaul Anwar Menes, Banten dan cabang-cabangnya tersebar di kedua Karesidenan. Selain sebagai pendiri Mathlaul Anwar (MA), Kiai Mas Abdurrahman juga menjadi tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU) di Banten meskipun beliau tidak terlibat sejak awal berdirinya organisasi tersebut. Pada tahun 1930-an, beliau mulai aktif terlibat dalam kegiatan NU, khususnya setelah Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1936).
Kiai ini meminta agar Muktamar NU berikutnya diselenggarakan di Menes, Banten, namun permintaan tersebut kalah oleh NU Cabang Malang. Muktamar ke-12 akhirnya digelar di kota dingin Malang (1937). Namun, permintaan Kiai Mas Abdurrahman untuk menjadi penyelenggara Muktamar NU akhirnya terwujud pada Muktamar NU ke-13 (1938) yang dipusatkan di Perguruan Mathlaul Anwar Menes, Banten dan langsung dikelola oleh Kiai Mas Abdurrahman sendiri.
Dalam Muktamar NU, pengambilan kebijakan penting dilakukan, salah satunya adalah pendirian Lembaga Pendidikan MA’ARIF Nahdlatul Ulama. Lembaga ini dibawah naungan NU dan memiliki tugas mengurusi bidang pendidikan. Dalam acara tersebut, KH. Mas Abdurrahman juga memulai partisipasi aktif wanita dalam organisasi NU, yang akan menjadi awal terciptanya Nahdlatul Ulama Muslimat. Selain menjadi pemimpin Pesantren Mathlaul Anwar, Pengurus Mathlaul Anwar, dan Rais Syuriyah NU cabang Menes, Banten, KH. Mas Abdurrahman juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif dengan hasil karyanya mayoritas menggunakan bahasa Sunda atau Jawa dialek Banten dengan huruf Arab Pegon.
Karya yang ditinggalkan oleh KH. Mas Abdurrahman adalah buku-buku yang mencakup beragam topik. Beberapa diantaranya adalah “Al-Jawâiz fi Ahkam al-Janâiz” yang membahas tentang jenazah, “Kitab At-Takhfif” yang memuat ilmu shorof atau morfologi Arab, “Kitab Jamaliyah” yang berisi tentang Nahwu atau gramatika Arab yang merupakan terjemahan dari “Kitab Al-Ajruwiyah”. Ada juga “Miftâh Bab as-Salâm” yang memuat tentang ilmu fikih dan “Fi Arkân al-Islam Wa al-Imâm” yang membahas tentang rukun-rukun Islam dan iman. Buku-buku ini ditujukan baik untuk santri Madrasah Mathlaul Anwar maupun bagi masyarakat Muslim lainnya.
Setelah berusaha sekuat tenaga dan memberikan diri sepenuhnya dalam pembangunan pendidikan Islam dan memperkenalkan Islam selama lebih dari 25 tahun, KH. Mas Abdurrahman dipanggil oleh Tuhan pada masa awal kekuasaan Jepang (1942) dan dikubur di Desa Sorong, sekitar 5 kilometer utara Menes. Usahanya sebagai pemimpin pesantren dilanjutkan oleh anak-anak dan dipromosikan oleh santri senior yang telah lama didikannya (saat ini diteruskan oleh KH. Nahid Abdurrahman).
Organisasi Mathlaul Anwar, yang pada awalnya hanya satu di bawah pimpinan KH. Abdurrahman, setelah kepergian beliau terpecah menjadi dua bagian. Bagian pertama, Mathlaul Anwar dipimpin oleh KH. Muhammad Yasin dan anaknya KH. Junaidi yang masih berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Sedangkan bagian kedua dipimpin oleh KH. Uwais Abu Bakar yang awalnya berafiliasi dengan Masyumi, kemudian dengan Parmusi, PPP dan terakhir dalam naungan Golkar, dipimpin oleh Letjen H. Alamsyah Ratu Prawiranegara dan DR. H. Ibnu Hartono.
Keberlanjutan organisasi Mathlaul Anwar dan segala institusi pendidikan yang terafiliasikan padanya, membuktikan kualitas konsisten dalam memenuhi tugas dan visinya, terlepas dari beragam afiliasi sejarah dan politik yang dialami. Bapak KH. Abdurrahman memiliki pengaruh besar sebagai ulama, penuntun masyarakat, pemimpin pesantren dan madrasah, yang mampu menghasilkan banyak ulama dan tokoh masyarakat.
Santri-santrinya sudah tersebar di berbagai belahan Nusantara, dan kitab-kitabnya masih terus dibaca. Ia juga diakui sebagai tokoh penting Nahdlatul Ulama di Banten dan pendiri Mathlaul Anwar, sebagai tempat perjuangan dan pendidikan yang terus berkembang sampai saat ini.
Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.
Sumber: Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.