Biografi KH. Abdul Wahid Hasyim Terlengkap

  • Bagikan

Banyak yang tahu bahwa Kiai ini adalah seorang ulama terkemuka di Indonesia, yang aktif dalam Nahdlatul Ulama dan Masyumi, serta dikenal sebagai pembaharu pendidikan Islam di Pondok Pesantren Tebu Ireng dan pesantren lainnya. Selain itu, beliau adalah salah satu pendiri Negara Republik Indonesia, pernah menjabat sebagai menteri, dan setelah meninggal, dihormati oleh Pemerintah Indonesia dengan gelar Pahlawan Pergerakan Nasional.

Dia lahir pada 1 Juni 1914 di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya adalah KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama ternama yang mendirikan dan memimpin pondok tersebut, dan namanya sangat dikenal di Indonesia, terutama di kalangan umat Islam.

Sebagai anak ulama yang dibesarkan di pesantren, Abdul Wahid Hasyim telah menerima pendidikan keislaman sejak masa kecilnya dari keluarganya dan interaksinya dengan para santri di bawah bimbingan ayahnya. Dia dikenal sebagai individu yang berbakat dan belajar secara mandiri, terutama dalam hal pengetahuan umum. Meskipun tidak mengenyam pendidikan formal di sekolah umum, pengetahuannya tidak kalah dengan rekan sebaya yang mengikuti pendidikan formal. Wahid Hasyim pertama kali belajar dari ayahnya dan sesama santri yang lebih senior di Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dia mulai mempelajari Al-Quran sejak usia 5 tahun, dan pada usia 7 tahun, dia sudah menguasai kitab Fathul Qarîb (syarah kitab Matn at-Taqrîb) dan Kitâb Minhâj al-Qawîm. Dia juga mulai tertarik pada sastra Arab, terutama syair-syair dalam kitab Diwân as Syu’arâ (Kumpulan Penyair dan Syair-syairnya).

Pada usia 13 tahun, dia mulai menimba ilmu dari ulama di luar Pondok Pesantren Tebu Ireng, dan umumnya tidak tinggal lama di satu tempat. Pengalaman pertamanya adalah di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo (tempat di mana KH. Hasyim Asy’ari juga pernah menuntut ilmu). Di sana, Wahid Hasyim berhasil menyelesaikan beberapa kitab keislaman, termasuk Sullâm at-Taufiq, Taqrîb, Bidâyah al-Hidâyah, dan Tafsîr Jalâlain. Selanjutnya, dia berpindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan KH. Abdul Karim, yang juga merupakan sahabat ayahnya. Wahid Hasyim juga belajar dari Kiai Amir di Pekalongan dan ulama lainnya untuk memperoleh ijazah dalam mengajar suatu kitab, memperbaiki pemahamannya, serta meminta berkah kepada ulama-ulama tua yang sering dilakukan oleh calon ulama pada masa remaja atau muda.

Setelah kembali dari belajar di beberapa pesantren yang tidak berlangsung lama, Gus Wahid Hasyim kemudian lebih banyak belajar secara mandiri. Pada usia 15 tahun, dia mulai mempelajari huruf Latin, dan dengan menguasainya, dia mulai menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan melalui buku-buku, surat kabar, dan majalah. Dengan berlangganan majalah Sumber Pengetahuan, Wahid Hasyim belajar Bahasa Belanda, sehingga dia dapat berbicara aktif dalam bahasa tersebut selain Bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris. Hal ini tidak mungkin terjadi jika dia bukan seorang yang cerdas. Pada usia 17 tahun, Wahid Hasyim mulai mengajar di Pondok Pesantren milik ayahnya.

Satu tahun kemudian, pada tahun 1932, dia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah bersama kakak sepupunya, Muhammad Ilyas, yang lahir di Probolinggo pada tahun 1911. Kedua pemuda ini memanfaatkan waktu mereka dengan baik di tanah suci, tidak hanya untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi juga untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Arab dan mendalami ilmu-ilmu keislaman, meskipun waktu yang mereka miliki sangat terbatas.

Kedua ulama muda ini menjadi inovator dalam pendidikan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, yang kemudian menjadi contoh diikuti oleh pesantren lainnya. Sistem halaqah tetap dipertahankan melalui pengajian sorogan atau weton. Selain itu, setelah kembali dari ibadah haji, KH. Muhammad Ilyas dan KH. Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nidzamiyah di Tebu Ireng. Madrasah ini memberikan pembelajaran dengan proporsi 70% ilmu agama dan 30% ilmu umum.

Pendirian madrasah ini adalah upaya pembaharuan dari Madrasah salafiyah yang fokus pada pengajaran ilmu-ilmu agama secara murni. Pada tahun 1929, KH. Muhammad Ilyas ditunjuk sebagai kepala madrasah oleh KH. Hasyim Asy’ari. Seiring berjalannya waktu, Madrasah Nidzamiyah berkembang menjadi dua jenis, yaitu: Pertama, Madrasah al-‘Âm (Madrasah Umum), yang mencakup: Madrasah Awâliyah (tingkat TK, 2 tahun), Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (3 tahun), Madrasah Mu’alimîn Wustha dan Mu’alimîn ‘Ulya (PGA-PGAA masing-masing 3 tahun). Kedua, Madrasah Ihktishâshiyah (Madrasah Khusus), yang mencakup Madrasah at Tujar (Sekolah Perdagangan), Madrasah an-Najâr (Sekolah Pertukangan), dan beberapa sekolah kejuruan lainnya.

Madrasah Nidzamiyah mengalami pertumbuhan yang cepat dengan kedatangan murid-murid dari berbagai daerah. Pada tahun 1936, KH. Wahid Hasyim mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam) dan mengambil peran sebagai pemimpinnya. Organisasi pelajar ini berhasil mendirikan Taman Bacaan atau perpustakaan yang menyediakan berbagai materi bacaan seperti kitab, buku, majalah, dan surat kabar dalam beberapa bahasa. Tujuannya adalah untuk mempercepat kemajuan di lingkungan pondok pesantren dalam menghadapi dinamika masyarakat luar.

Setelah mendirikan IKPI, KH. Wahid Hasyim mulai terlibat dalam dunia organisasi selain sebagai pengasuh di Pondok Pesantren milik ayahnya. Dia aktif dalam kegiatan Nahdlatul Ulama, khususnya dalam bidang pendidikan atau Maarif NU pada tahun 1938, dan terpilih sebagai ketuanya dua tahun kemudian pada tahun 1940. Selain itu, dengan pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tahun 1937, KH. Wahid Hasyim diangkat sebagai ketuanya hingga kedatangan tentara Jepang pada tahun 1942. MIAI merupakan sebuah federasi organisasi Islam yang anggotanya termasuk NU, Muhammadiyah, PSII, Persis, Al-Irsyad, PUI-PUII, dan kemudian Perti, al-Washliyah, serta lainnya.

Pada masa pemerintahan Jepang, MIAI berubah menjadi Masyumi, dengan KH. Mas Mansyur sebagai ketua dan KH. Wahid Hasyim sebagai wakilnya, bersama beberapa ulama muda lainnya. Sementara itu, KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai Rais Majelis Syuro dari Masyumi. Setelah proklamasi kemerdekaan, ketika Masyumi beralih menjadi sebuah partai politik pada bulan November 1945, KH. Wahid Hasyim diangkat sebagai Ketua II, hingga NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952.

Di lingkungan NU sendiri, dengan munculnya beberapa generasi muda, terutama KH. Mahfudz Siddiq dari Jember dan KH. Wahid Hasyim, terjadi kemajuan signifikan bagi NU. Pada tahun 1940, NU menjadi organisasi keagamaan dengan jumlah anggota terbanyak di Indonesia.

KH. Wahid Hasyim adalah seorang ulama pergerakan dan pejuang yang aktif sebelum dan sesudah kemerdekaan. Dia terlibat dalam pembentukan lasykar umat Islam untuk mengamankan kemerdekaan, seperti Barisan Hizbullah, Sabilillah, dan Mujahidin (Barisan Kiai). Melalui perannya dalam NU, MIAI, GAPI, dan Masyumi, serta kepemimpinannya dalam majalah Suara Muslimin Indonesia dan Badan Propaganda Islam, dia menjadi tokoh yang dikenal luas. Setelah Jepang menyadari kekuatan umat Islam yang besar, mereka membentuk Kantor Agama (Shumubu) untuk meredam kemarahan umat Islam, dengan KH. Wahid Hasyim diangkat sebagai Kepala Shumubu atas nama ayahnya.

Pada periode menjelang kemerdekaan Indonesia, dia menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Tyunbi Cyoosakai. KH. Wahid Hasyim termasuk dalam Panitia Sembilan yang merumuskan rancangan pembukaan UUD 1945, yang dikenal dengan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Selain itu, dia juga menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang memilih Presiden dan Wakil Presiden pertama, serta menetapkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara (18 Agustus 1945).

Setelah kemerdekaan, KH. Wahid Hasyim masih terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Beliau menjabat sebagai menteri beberapa kali, pertama sebagai Menteri Negara dalam Kabinet RI pertama, kemudian sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Hatta III atau Kabinet RIS (1949-1950), Menteri Agama dalam Kabinet Natsir (1950-1951), dan Menteri Agama dalam Kabinet Sukiman Suwiryo (1951-1952).

Meskipun masa jabatannya sebagai Menteri Agama singkat, banyak ide dan landasan yang dirancang olehnya yang akan bermanfaat bagi generasi berikutnya. Beberapa kebijakan yang diterapkan antara lain: menetapkan struktur tugas dan kewajiban kantor pusat Kementerian Agama, Jawatan Pendidikan Agama, dan Jawatan Penerangan Agama; bersama Menteri PPK, menetapkan SK bersama pada tanggal 20 Januari 1951, yang menegaskan bahwa Pendidikan Agama harus diajarkan di semua sekolah, baik negeri maupun swasta di bawah Kementerian PPK, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi; dan menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi secara nasional bersama Presiden Sukarno di Istana Negara, yang menjadi tradisi nasional untuk setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara.

Selain itu, KH. Wahid Hasyim juga memulai upaya perbaikan dalam perjalanan haji Indonesia, dan bersama Presiden Sukarno, merintis pembangunan Masjid Nasional yang diberi nama Masjid Istiqlal (Masjid Kemerdekaan), yang dirancang oleh arsitek Ir. F. Silaban pada tahun 1951, meskipun pembangunannya selesai setelah masa pemerintahan Orde Baru (Presiden Suharto).

Menteri Agama Wahid Hasyim aktif dalam mendirikan lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama, termasuk SGHAN (Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri) di kota-kota seperti Banda Aceh, Bukittinggi, Tanjung Pinang, dan Bandung, serta PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) di Banda Aceh, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjung Karang, Bandung, dan Pamekasan. Dia juga memimpin upaya pengakuan penyetaraan ijazah antara Kementerian Agama dan Kementerian PPK, dengan menerbitkan SK Bersama pada tanggal 17 Juli 1951. Selain itu, dia berhasil merancang kurikulum Pendidikan Agama untuk sekolah dasar dan menengah di bawah Kementerian PPK, serta menginisiasi berbagai kebijakan dan inisiatif untuk meningkatkan kinerja Kementerian Agama dari tingkat pusat hingga daerah.

Pendidikan tinggi juga menjadi perhatian KH. Wahid Hasyim, baik sebelum maupun saat menjabat sebagai Menteri Agama. Bersama DR. Muhammad Hatta, KH. Abdul Kahar Muzakir, dan lainnya, dia memimpin upaya pendirian UII (Universitas Islam Indonesia) di Yogyakarta pada awal kemerdekaan. Selain itu, dia juga terlibat dalam pendirian PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam) di Yogyakarta pada bulan September 1951, yang kemudian diikuti oleh Akademi Dinas Ilmu Dakwah di Jakarta. Inisiatif-inisiatif tersebut menjadi awal dari pembentukan IAIN di seluruh Indonesia.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama dan NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952, KH. Wahid Hasyim lebih fokus pada Partai NU. Bersama-sama dengan Abi Kusno Cokro Suyoso dari PSII, KH. Sirajuddin Abbas dari Perti, serta dari Dâr ad-Da’wah wa al-Irsyâd, dia mendirikan Liga Muslimin Indonesia, federasi yang mirip dengan partai yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinnah dan Liquat Ali Khan di Pakistan. KH. Wahid Hasyim menjabat sebagai ketua umumnya, dengan Abi Kusno Cokro Suyoso dan KH. Sirajuddin Abbas sebagai wakilnya.

Seorang ulama reformis yang teguh pada mazhab Syafi’iyah, juga terkenal sebagai seorang penulis. Di antara karya-karya tulisnya berupa pidato resmi, ceramah agama, dan artikel, termasuk “Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia”, “Beriman dengan Sungguh-sungguh dan Ingatlah Kebesaran Allah”, “Kebangkitan Dunia Islam”, “Pengaruh Meninggalnya Stalin pada Islam?”, “Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Dinamika Politik dari Partai-partai dan Golongan-golongan”, “Islam antara Materialisme dan Mistisisme”, “Peran Ulama dalam Masyarakat Islam di Indonesia”, dan beberapa tulisan lainnya.

Pernikahan KH. Wahid Hasyim dengan Hajjah Shalehah putri KH. Bisri Syansuri pada tahun 1938, melahirkan enam orang anak, yang kemudian menjadi tokoh-tokoh nasional seperti KH. Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), Ir. Salahuddin Wahid, Aisyah, dr. Umar Wahid, Khadijah, dan Hasyim Wahid. Meskipun beliau adalah seorang ulama muda cerdas, namun kehidupannya ternyata tidak panjang. Beliau meninggal dunia dalam kecelakaan mobil di Cimindi, antara Cimahi-Bandung, pada tanggal 19 April 1953, saat dalam perjalanan untuk menghadiri pertemuan Partai NU se-Karesidenan Priangan. Jenazahnya dibawa ke Jombang dan dimakamkan di samping makam ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari, di komplek Pondok Pesantren Tebu Ireng. Kehadiran yang besar dalam pemakaman beliau menunjukkan kekaguman terhadap sosoknya, dengan puluhan ribu orang dari berbagai daerah datang memberikan penghormatan terakhir, bahkan sepanjang jalan dari Surabaya-Jombang sampai Tebu Ireng penuh dengan orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir.

Meskipun hidupnya singkat, warisan dan jasanya tetap diingat oleh banyak orang, baik sebagai seorang ulama, pembaharu, pemikir, maupun pejuang. Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan penghargaannya dengan mengangkat KH. Wahid Hasyim sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Keputusan Presiden RI nomor 206/ tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964.

Sumber:

Suprapto, M. Bibit. 2009. Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *