Peran para Habib atau Sayyid yang merupakan keturunan Rasulullah Muhammad s.a.w. melalui putrinya Fatimah az-Zahrah dan ‘Al ibn Abi Thalib, sangat besar terhadap perkembangan dan sejarah kedatangan Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Hadramaut (Yaman Selatan) dan mulai tiba di Nusantara pada abad ke-14 M hingga saat ini. Namun, hubungan erat tetap terjalin antara Habib atau Sayyid yang ada di Nusantara dengan mereka yang berada di tanah asal mereka, Hadramaut.
Salah satu tokoh sayyid pada abad 20 adalah Habib Idrus bin Salim al-Jufri, ulama terkemuka di Sulawesi Tengah. Ia didirikan Lembaga Pendidikan Al Khairat di Palu pada tahun 1930, yang kemudian berkembang menjadi organisasi pendidikan, sosial, dan keagamaan. Organisasi tersebut memiliki ratusan cabang di seluruh Indonesia, terutama di daerah timur. Guru Tua, sebutan masyarakat untuk Habib Idrus bin Salim al-Jufri, adalah ulama dan pendidik sukses yang menghasilkan kader-kader Islam berkualitas.
Lahir pada 14 Sya’ban 1319 H (1899 M) di kota Taris, Yaman Selatan, Idrus memiliki keturunan campuran Arab dan Bugis. Ayahnya, Halil Salim al-Jufri, adalah seorang mufti di Yaman Selatan dan ibunya berasal dari Bugis. Idrus mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya sendiri dan ulama lain di Taris. Yaman Selatan telah dikenal sejak abad 17 sebagai pusat pendidikan Islam di bagian selatan Jazirah Arab, termasuk Syeikh Abdur Rauf as-Singkili yang belajar di sana pada tahun 1640-an.
Pada usia 19 tahun, Idrus bin Salim memimpin sebagai mufti Yaman Selatan setelah ayahnya meninggal (sekitar 1918). Namun, dua tahun kemudian, Inggris mulai memimpin Yaman sebagai wilayah protektorat mereka. Hal ini disebabkan oleh kekalahan Kesultanan Turki Usmani yang berkuasa sampai ke Jazirah Arab Selatan dalam Perang Dunia I (1914-1918). Berdasarkan perjanjian antara Turki dengan negara-negara sekutu (Inggris, Amerika, Perancis, dan lainnya) yang memenangkan perang, Yaman Selatan diserahkan kepada Inggris sebagai wilayah protektorat mereka (1920).
Gaya bahasa yang profesional dan unik: Karena pemerintahan kafir, rakyat mulai merasa tidak puas dan pemberontakan mulai terjadi. Habib Idrus bin Salim al-Jufri ikut serta dalam perlawanan dan ditangkap oleh pemerintah, sehingga diasingkan dari Yaman. Ia memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan memulai petualangan baru di Asia Tenggara. Wilayah ini dipilih karena banyak dari saudaranya sudah merantau dan tinggal di sana, bersama ibunya yang berasal dari Suku Bugis. Setibanya di Indonesia, Habib Idrus memilih untuk menetap di Pekalongan dan menikahi seorang wanita bernama Aminah yang juga berdarah Arab.
Habib Idrus al-Jufri, setelah tinggal beberapa waktu di Pekalongan bersama para habib lainnya yang berasal dari Hadramaut, melanjutkan perjalanannya ke Jombang. Ia kemudian pindah ke Solo dan berpartisipasi dalam pendirian Madrasah Rabithah Alawiyah, tempat banyak muridnya berasal dari keturunan Arab. Tidak lama tinggal di Solo, beliau melanjutkan petualangannya ke Kepulauan Maluku sebelum akhirnya menetap di Palu, Sulawesi Tengah.
Pada akhirnya, setelah berkelana cukup lama, Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri memutuskan untuk menetap dan mendirikan lembaga pendidikan. Awalnya, lembaga tersebut direncanakan untuk didirikan di Desa Wani, kira-kira 25 kilometer arah utara kota Palu. Namun, rencana tersebut kemudian digeser ke kota Palu karena dianggap memiliki prospek yang lebih baik dan strategis. Pada tanggal 14 Muharram 1349 H (1930 M), Pesantren Al Khairat didirikan di bawah asuhan Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri.
Lembaga Pendidikan Al Khairat bukan hanya menyediakan sistem pendidikan halaqah melalui pesantren, tetapi juga menawarkan pendidikan klasikal. Baik lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan Departemen Agama seperti madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, dan madrasah diniyah, maupun yang berafiliasi dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Pendidikan Nasional) seperti SD, SMP, SMA, SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas), dan SMU untuk SMA serta SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) untuk SMEA dan SPMA. Semua lembaga pendidikan, baik di pusat maupun di daerah, menggunakan nama Al Khairat.
Lembaga Al Khairat tidak hanya berfokus pada pendidikan, namun juga melakukan berbagai aktivitas sosial dan dakwah. Bidang sosial Al Khairat memiliki panti asuhan bagi anak yatim bernama Darul Aitam dan lembaga-lembaga lain yang bertujuan untuk memajukan peran wanita dan membentuk generasi muda. Sementara dalam bidang dakwah, Al Khairat berupaya melaksanakan aktivitas dakwah seperti halnya lembaga-lembaga dan organisasi Islam lain, baik secara formal atas nama Al Khairat maupun atas nama pribadi para mubaligh.
Organisasi Al Khairat mengalami peningkatan yang sangat pesat, tidak hanya sebagai sebuah lembaga pendidikan, sosial dan dakwah, namun berkembang menjadi sebuah organisasi. Struktur organisasi Al Khairat terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat yang bermarkas di Palu (Sulawesi Tengah), Komisariat Wilayah (Konwil) di tingkat propinsi, pengurus daerah di tingkat kabupaten/kota, pengurus cabang di tingkat kecamatan, dan pengurus ranting di tingkat desa/kelurahan.
Setelah menjalani hidup yang cukup lama dan banyak berkelana, Habib Idrus bin Salim al-Jufri akhirnya memutuskan untuk menetap dan membentuk lembaga pendidikan bernama Al Khairat. Pada saat meninggalnya pada tanggal 12 Syawal 1389 H (22 Desember 1969), organisasi Al Khairat sudah memiliki sekitar 700 cabang di Indonesia Timur dan setiap cabang memiliki gedung sendiri dan menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan sosial sesuai dengan kemampuannya. Putra almarhum, Habib (Sayyid) Saggaf bin Idrus al-Jufri, bersama dengan alumni Al Khairat yang menjadi tokoh seperti Ir. H. Fadel Muhammad, H. Azis Lamajido SH, dan lain-lain, berusaha untuk mengembangkan organisasi ini.
Pada tahun 1991, Al Khairat memiliki 1161 madrasah dan 8 pesantren sebagai lembaga pendidikan. Pada tahun yang sama, Unisa, sebuah universitas Islam Al Khairat juga didirikan di Palu. Lembaga pendidikan ini tersebar di berbagai wilayah, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua Barat. Kini, jumlah lembaga pendidikan Al Khairat terus bertambah hingga saat ini. Keberhasilan ini berkat peran dan pengaruh dari pendiri Al Khairat, Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri, dan diteruskan oleh putranya, Habib Saggaf bin Idrus al-Jufri sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Al Khairat serta generasi penerus lainnya.
Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.
Sumber: Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara.