Ulama sufi yang akan dibahas disini merupakan murid dari Syeikh Hamzah al-Fansuri dan pernah memegang posisi penting di kerajaan Aceh, yang sebanding dengan Perdana Menteri saat ini. Tertulis ‘as-Sumatrani’ pada akhir namanya. Walau demikian, seluruh penulis manuskrip karyanya menuliskannya sebagai ‘as-Sumatrani’.
Tambahan huruf “n” antara huruf “a” dan “i” yang dirumikan hanyalah kesalahan penulisan dari huruf hamzah yang ditulis sebelum huruf ya. Huruf ya yang ditempatkan di belakang kata “Sumatra” mengikuti aturan bahasa Arab sebagai nisbah, yaitu menunjukkan asal daerah. Oleh karena itu, Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani bermakna Syeikh Syamsuddin yang berasal dari Sumatera. Jika ditambah dengan “ni”, maka berarti Syeikh Syamsuddin berasal dari tempat bernama Sumatran. Namun, tidak diketahui letak tempat bernama Sumatran tersebut.
Dalam karya bercorak dongeng yaitu Hikayat Ahmad Bustamam, nama Sumatran tercatat. Oleh karena itu, dalam menulis nama ulama sufi ini, penulis kembali ke sumber aslinya dan menuliskan “Sumatrani” bukan “Sumatrani”. Ini sebagai salah satu bentuk pelengkap dalam risalah, seperti halnya Syeikh Hamzah al-Fansuri, karena ulama sufi ini sudah banyak dibahas dalam studi sastra. Sebelumnya, penulis telah menulis tentangnya dalam majalah Dian, dan kemudian dimuatkan dalam buku “Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik” yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1987.
Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani terkenal bukan hanya karena ditambahkan sebagai tambahan di belakang namanya oleh penulis barat dan lokal dengan tulisan “Sumatrani”, tetapi juga diduga berasal dari Pasai. Tanggal dan tempat kelahirannya belum dapat ditemukan dengan pasti. Namun, tanggal kematiannya telah tercatat oleh musuh bebuyutannya, Syeikh Nuruddin ar-Raniri, yaitu pada malam Senin, 12 Rejab 1039 H/1630 M.
Latar belakang pendidikan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani belum diketahui secara detail, hanya diketahui bahwa dia adalah murid dari Syeikh Hamzah al-Fansuri. Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa dia pernah belajar dari Sunan Bonang, seorang Wali Allah di Jawa. Meskipun Syeikh Nuruddin ar-Raniri merupakan musuh besar dari Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, dia masih mengakui keilmuan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, seperti yang dia tulis, “Benar, pada saat itu Syeikh Syamsuddin ibnu Abdullah as-Sumatrani meninggal pada malam Senin 12 Rejab tahun 1039 Hijriyah. Ia adalah ulama dalam segala ilmu dan terkenal dengan pengetahuannya dalam tasawuf dan beberapa kitab yang dia tulis”.
Pendirian keislaman di Aceh dimulai oleh Syeikh Hamzah al-Fansuri dan dilanjutkan oleh muridnya, Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, yang telah diterima oleh semua penulis. Karya Syeikh Hamzah al-Fansuri serta Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani saling beririsan dan selaras dalam membahas Martabat Tujuh. Diskusi tentang tasawuf yang dalam oleh kedua ulama ini tidak pernah ditentang oleh Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Namun, banyak penulis yang datang kemudian merubah kenyataan sejarah dan ilmiah, dengan menyatakan bahwa Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri memihak pada Syeikh Nuruddin ar-Raniri dalam membantah Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani.
Berdasarkan informasi tersebut, perdebatan mengenai Martabat Tujuh dimulai dari Syeikh Hamzah al-Fansuri, disampaikan kepada Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, turun ke Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, ke Syeikh Faqih Jalaluddin bin Kamaluddin al-Asyi, dan seterusnya. Kemudian didukung oleh beberapa ulama Asia Tenggara lain. Misalnya, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dalam beberapa halaman Siyarus Salikin-nya, bahkan mengakui karya-karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, yang dikategorikan sebagai ajaran tasawuf tingkat Muntahi (tingkat tertinggi).
Ada dua karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani yang disebutkan oleh Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dalam karya besarnya, yaitu Jawahirul Haqa-iq dan Tanbihut Thullab fi Ma‘rifatil Malikil Wahhab. Sementara itu, karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari yang memiliki persamaan dengan karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani mengenai Martabat Tujuh antara lain Ad-Durrun Nafis dan Majmu’ul Asrar. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani juga membahas rumus-rumus sufi yang bercorak syathahiyat dalam karya-karya Manhalus Shafi fi Bayani Ramzi Ahlis Shufi dan lainnya yang belum memiliki judul.
Karya tasauf yang tidak memiliki judul tersebut hanya diketahui ada dua salinan, salah satunya terdapat di Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia dan satunya lagi merupakan koleksi pribadi penulis. Meskipun begitu, Syeikh Nuruddin ar-Raniri dalam beberapa karya menilai bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani sesat, zindiq, dan lain-lain. Namun, tidak semua ulama dunia Melayu setuju dengan pandangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Selain ulama yang disebutkan sebelumnya yang memiliki karakteristik masing-masing, ada juga ulama dari Aceh yang memiliki pandangan yang berdiri sendiri dan memberikan penilaian yang netral.
Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh menyatakan bahwa belajar Martabat Tujuh tidaklah wajib dan bahwa pada saat ini tidak ada ahli yang dapat mengajarkan topik tersebut. Beliau juga menjelaskan bahwa karena tidak ada yang mengerti maknanya dan karena beberapa kitab orang yang dahulu tidak ditemukan lagi, maka belajar Martabat Tujuh dapat membawa bencana karena dapat melanggar syariat. Beliau menjelaskan bahwa ilmu tentang Martabat Tujuh sudah mati dan tidak ada lagi di tanah Arab, seperti Mekah dan Madinah, dan di luar keduanya.
Syeikh Ahmad al-Fathani memaparkan pendapat Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin tentang Martabat Tujuh dalam bukunya Bidayatul Hidayah. Menurut Syeikh Ahmad al-Fathani, membahas tentang Martabat Tujuh adalah haram karena tidak ada guru yang dapat menjelaskan maknanya. Ada beberapa orang Jawi yang mengklaim bahwa Martabat Tujuh dapat mencapai Tuhan dan mengajar tentang Martabat Tujuh. Mereka mengajak orang lain untuk mempelajari Martabat Tujuh, hal ini sangat salah karena murid tidak mengetahui apa yang wajib dipelajarinya dari Martabat Tujuh.
Ada bukti yang kuat bahwa Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani memegang peran penting dalam menyebarkan ajaran gurunya, Syeikh Hamzah al-Fansuri, melalui karya syarah yang ia lakukan. Karya penting ini adalah Ruba’i Syeikh Hamzah al-Fansuri yang telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1976 melalui kerja transliterasi A. Hasymi dan lengkap dengan manuskrip Melayu/Jawi. Baik Syeikh Hamzah al-Fansuri maupun Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani memiliki pengaruh yang besar pada Sultan Iskandar Muda, dimana setiap urusan istana selalu menyuruh orang memanggil Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani.
Pengaruh Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani terungkap jelas dalam buku Hikayat Aceh. Dalam catatannya, ketika usia Sultan Husein Syah mencapai 10 tahun, Raja Iskandar Muda memerintahkan Mahkota Dailamcai untuk memanggil Syeikh Syamsuddin beserta para pemimpin lainnya. Setelah mematuhi perintah itu, Mahkota Dailamcai menghadap Raja Iskandar Muda bersama Syeikh Syamsuddin dan para pemimpin lain. Raja Iskandar Muda memberikan nama Sultan Maghal untuk anaknya Sultan Husein Syah dan mengatakan bahwa anaknya akan menggantikan tugasnya sebagai penguasa.
Karya-karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani sebelumnya sudah tercatat dan diterbitkan, termasuk penulis sendiri, yang telah dimuat dalam majalah Dian dan dalam buku Tokoh-Tokoh Sastera Melayu Klasik. Dua karya tersebut, yaitu Tanbihut Thullab dan Anwarud Daqaiq, sudah dimuatkan dalam buku Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, jilid 1. Data keseluruhan tentang karya-karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani akan diterbitkan dalam buku Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, jilid 3.
Baru-baru ini, penulis menemukan 13 karya baru Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani di Patani dan menyenaraikan karya-karya tersebut berdasarkan temuan terbaru. Sebelum ini, 12 karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani sudah menjadi koleksi Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia.
Pada masa sebagai nazir rumah wakaf Haji Abu Bakar Wajo, seorang keturunan terkenal dari Syeikh Yusuf Makasar (Bugis), dicatatkan bahwa penyalin terdahulu membuat beberapa salinan judul lain saat berada di Mekah. Berikut adalah daftar judul tersebut:
- Jawahirul Haqaiq
- Risalatul Baiyin Mulahazatil Muwahhidin ‘alal Muhtadi fi Zikrillah
- Kitabul Khirqah
- Nurud Daqaiq
- Mir-atul Iman
- Mir-atul Mu’minin
- Syarah Mir-atil Qulub
- Mir-atul Haqiqah
- Mir-atul Muhqqiqin
- Risalah Jawami’il ‘Amal
- Anwarud Daqaiq fi Kasyfi Asrarir Raqaiq
- Da-iratul Wujud
- Risalah Kasyfi Asraril Wujud
- Bayanul Qulub
- Risalah Pada Menyatakan A‘yan Tsabitah
- Risalah Mitsalil Wujud
- Risalah Pada Menyatakan Kelebihan Insan Daripada Sekalian Alam Yang Lain.
- Kasyfu Sirrir Rububiyah fi Kamalil ‘Ubudiyah
- Risalah Masa-il ‘llmil Haqiqah
- Haqiqah as-Shufi
- Haqqul Yaqin fi ‘Aqidatil Muhaqqiqin fi Zikri As-raris Shufiyinal Muhaqqiqin
- Syarah Ruba’i Syeikh Hamzah al-Fansuri
- Taukidul ‘Uqud
Karya-karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani yang baru ditemukan dan kini menjadi bagian dari koleksi Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia dengan nomor urut 11 hingga 22. Karya nomor 24 dalam daftar tersebut hanya merupakan risalah-risalah tipis. Namun, nomor 22 (Haqqul Yaqin …) memiliki ukuran cukup tebal dengan 48 halaman dan hanya karya ini saja yang memiliki tanggal selesai penulisan, yaitu 1020H/1611M.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh penulis dalam karya nomor 22, ia mengklaim bahwa ia menterjemahkan bahasa Parsi ke bahasa Melayu. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani adalah seorang ulama yang mampu berbahasa Parsi.
Penulis menyimpulkan bahwa dengan ditemukannya manuskrip-manuskrip tersebut, penelitian kita tentang Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani akan semakin luas. Penelitian berkelanjutan mungkin akan menghasilkan temuan baru. Penjelasan lengkap tentang karya-karya Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani dapat ditemukan dalam buku yang diterbitkan sendiri oleh penulis, yaitu “Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara” edisi ke-3.
Terakhir, sebagai pemegang amanah sejarah dan perjuangan, kami berharap artikel ini dapat memberikan sedikit banyak wawasan tentang tokoh ini. Mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan data dalam penyajian kisah hidupnya. Semoga kita semua dapat terus mengapresiasi jasa dan pengabdian beliau dalam memajukan dunia pendidikan dan Islam di tanah air. Wallahua’lam.