Biografi KH. Zainul Mun’im, Madura

  • Bagikan
Biografi KH. Zainul Mun’im, Madura
Biografi KH. Zainul Mun’im, Madura

Kelahiran KH. Zainul Mun’im

KH. Zaini Mun’im memiliki latar belakang keluarga yang kaya akan tradisi keagamaan dan keilmuan. Dari jalur ayahnya, beliau mewarisi tradisi pedagang yang juga seorang ulama, sedangkan dari jalur ibunya, beliau memiliki hubungan keluarga dengan para raja Pamekasan dan ulama besar seperti KH. Bujuk Azhar.

Sebagai seorang ulama, KH. Zaini Mun’im juga dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan keadilan sosial bagi masyarakat Madura. Beliau turut mendirikan Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923, sebuah organisasi Islam yang bertujuan untuk memperkuat dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia.

Selain itu, beliau juga aktif dalam gerakan nasionalis dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Beliau menjadi anggota Partai Sarekat Islam (PSI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), serta aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan pendidikan di masyarakat.

Di bidang pendidikan, KH. Zaini Mun’im mendirikan Madrasah Aliyah (MA) di Pamekasan, dan juga membantu mendirikan beberapa madrasah di daerah lain di Jawa Timur. Beliau juga memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi perempuan, dan mendirikan sekolah untuk perempuan di Pamekasan.

KH. Zaini Mun’im wafat pada tahun 1981 dan dianggap sebagai salah satu tokoh ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang terkenal dan dihormati di Madura dan Indonesia secara umum.

Keluarga KH. Zainul Mun’im

Pada tahun 1937, KH. Zaini Mun’im menikah dengan Nyai Nafi’ah, yang juga merupakan keponakan dari KH. Abdul Majid Banyuanyar, sehingga ia tidak lagi menjomblo. Dari pernikahannya, KH. Zaini Mun’im diberkati dengan enam putra dan satu putri sebagai keturunan.

KH. Zainul Mun’im Wafat

Pada hari Senin tanggal 26 Juli 1976 M atau bertepatan dengan 29 Rajab 1396 H, KH. Zaini Mun’im meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.

Perjalanan KH. Zainul Mun’im Menuntut Ilmu

Sejak kecil, pendidikan agama KH. Zaini Mun’im telah diberikan oleh kedua orang tuanya, yaitu Nyai Hamidah dan KH. Abdul Mun’im. Pada usia 11 tahun, di masa penjajahan Belanda, beliau mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat selama empat tahun (1917-1921). Kemudian, beliau memperdalam ilmu al-Qur’an dan tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha (menantu KH. Kholil) di Pondok Pesantren Kademangan Bangkalan Madura.

Pada tahun 1922, beliau melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang dipimpin oleh KH. R. Abdul Hamid dan putranya, KH. Abdul Majid. Setelah itu, pada tahun 1925, beliau merantau ke tanah Jawa dan mondok di Pesantren Sidogiri Pasuruan yang dipimpin oleh KH. Nawawi, namun belajar di sana hanya selama satu tahun karena ayahandanya meninggal dunia dan beliau harus kembali ke Madura untuk menggantikan posisi ayahandanya.

Pada usia 22 tahun, beliau menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama). Di sana, beliau memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab pada tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya, baik dari KH. Hasyim, KH. Maksum bin Kuaron Seblak (menantu KH. Hasyim), maupun dari KH. Wahid Hasyim (putra KH. Hasyim). Di Jombang, beliau juga belajar dari KH. Maksum Ali (Seblak Jombang). Pada pertengahan tahun 1928, bersama dengan nenek, ibu, dan adik kandungnya, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di Sifirlain untuk menuntut ilmu. Di sana, beliau belajar selama lima tahun.

Guru-Guru KH. Zainul Mun’im

• Syekh Kholil Bangkalan
• KH. M. Baqir (berasal dari Yogyakarta),
• Syekh Umar Hamdani AI Maghribi,
• Syekh Alwi Al Maliki (mufti Maliki di Makkah),
• Syekh Sa’id Al-Yamani (mufti Syafi’i di Makkah),
• Syekh Umar Bayunid (mufti Syafi’i di Makkah),
• Syekh Yahya Sangkurah (berasal dari Malaysia), dan
• Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam As-Singkiti.

Sebelum pulang ke tanah air, beliau sempat mukim di Madinah selama enam bulan.

Di sini beliau mengikuti berbagai pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu, di antaranya dari Syekh lbrahim Al-Barry. Pada tahun 1934, beliau pulang ke tanah air dan langsung menetap di Madura. Sejak tahun itu beliau akrab dipanggil KH. Zaini Mun’im, Pemimpin dan Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis Pamekasan.

Kemudian, beliau kembali untuk belajar dan berguru kepada:

• KH. Shonhaji (Pamekasan),
• KH. Moh. Shaleh (Pakong Pamekasan),
• KH. Abd. Hamid (Krepek Pamekasan) dan
• KH. Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo).

Kehadiran beliau di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo yang saat itu diasuh oleh KH. Syamsul Arifin, menjadi bagian dari proses beliau menetap di Karanganyar Paiton dan akhirnya mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid.

KH. Zainul Mun’im Mendirikan Lembaga Pendidikan

Pada saat awal kedatangannya di Desa Karanganyar, KH. Zaini Mun’im pada mulanya tidak memiliki niat untuk mendirikan lembaga pendidikan pesantren, namun hanya ingin menjauh dari ketamakan dan kekejaman penjajah. Ia sebenarnya hendak melanjutkan perjalanannya ke pedalaman Yogyakarta untuk bertemu dengan teman-teman seperjuangannya. Namun, sebelum cita-cita mulianya itu dapat direalisasikan, ia mendapat amanah dari Allah berupa dua orang santri yaitu Syaifuddin (Sidodadi Paiton) dan Syafiuddin (Gondosuli Kotaanyar Paiton).

Kedua santri tersebut kemudian ditempatkan di sebuah surau kecil yang selain digunakan sebagai tempat shalat, juga digunakan sebagai ruang tamu, tempat mengajar, dan tempat tidur santri. Karena adanya titipan dua orang santri itu dan didorong oleh semangat kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, maka niat asalnya untuk pergi ke pedalaman Yogyakarta dibatalkan dan ia memutuskan untuk menetap di Karanganyar. Keputusan ini semakin kokoh seiring dengan bertambahnya jumlah santri yang berguru kepada beliau.

Di Pondok Pesantren Nurul Jadid ini, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu dari kitab-kitab salaf dengan pola non klasikal, melainkan beliau juga mendirikan lembaga pendidikan klasikal. Lembaga pendidikan yang beliau dirikan antara lain:

• Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA,tahun 1950).
• Taman kanak-kanak dan lembaga pendidikan Al-Khairiyah. (tanpa Tahun)
• Flour Kelas. Berubah nama menjadi Mu’allimin (tahun 1961). Selanjutnya pada tahun 1969, berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dan Madrasah Aliyah (MA).
• Pada tanggal 1 September 1968, didirikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU). Perguruan Tinggi ADIPNU yang kemudian berubah menjadi PTID dan sekarang berkembang menjadi IAINJ.
• Pada tahun 1970, beliau mendirikan SMP dan SMA, sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian beliau ketika menyaksikan prilaku pelajar SMP dan SMA di luar pesantren yang jauh dari akhlaq Islami.
• Pada tahun 1974, berdiri Sekolah Dasar Islam (SDI). Dua tahun kemudian, SDI berubah nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Mun’im (MINM).
• Pada tahun 1975, didirikan lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGA NJ) berjenjang 4 tahun. Tapi dalam proses perjalanannya, PGA NJ ini hanya bertahan tiga tahun, karena ada kebijakan pemerintah tentang pengurangan jumlah lembaga pendidikan PGA.

Anak-Anak KH. Zainul Mun’im

• Alm. KH. Moh. Hasyim, BA. (Lahir di Madura)
• Alm. Drs. KH. A. Wahid Zaini, SH. (Lahir di Madura)
• Nyai Hj. Aisyah (Istri KH. Hasan Abdul Wafi). (Lahir di Madura)
• KH. Fadlurrahman, BA. (Lahir di Paiton)
• KH. Moh. Zuhri Zaini, BA.(Lahir di Paiton)
• Alm. KH. Abdul Haq Zaini, Lc, (Lahir di Paiton)
• Drs. KH. Nur Chotim Zaini. (Lahir di Paiton)

Murid-Murid KH. Zainul Mun’im

• KH. Anwari Faqih (Kiai Berik)
• KH. Nur Chotim Zaini
• KH. Abdul Matin Djawahir

Peranan Di Nahdlatul Ulama

Sejak masa mudanya, KH. Zaini Mun’im telah terlibat aktif dalam berbagai medan perjuangan. Dia memberikan perhatian yang sangat besar terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Salah satu perjuangan aktifnya adalah membela hak-hak masyarakat, serta memperjuangkan keutuhan NKRI. Saat masa penjajahan Jepang, beliau diangkat menjadi pemimpin Barisan Pembela Tanah Air (PETA), yang dipercayakan untuk membela kemerdekaan bangsa.

Ketika perang kemerdekaan, KH. Zaini Mun’im diangkat menjadi pemimpin Sabilillah saat melancarkan Serangan Umum pada tanggal 16 Agustus 1947, untuk melawan bala tentara Belanda yang memegang kendali atas Kota Pamekasan. Beliau merupakan salah satu tokoh pejuang yang menjadi target operasi Belanda, dan menjadi buruan karena keberaniannya dan tekad yang bulat dalam melawan penjajah.

Tidak hanya di bidang perjuangan fisik, KH. Zaini Mun’im juga terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan, khususnya melalui Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), baik di pulau Madura maupun Jawa. Melalui NU, beliau mempraktikkan nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar, memperjuangkan hak-hak masyarakat, dan turut berkontribusi dalam membangun kemajuan masyarakat.

Walaupun sibuk mengurus pesantren, KH. Zaini Mun’im masih menyempatkan waktu untuk turut menangani berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya dalam bidang keagamaan dan sosial ekonomi, terutama yang menyangkut nasib para petani. Ketika masih berada di Madura, beliau aktif dalam Cabang NU Pamekasan, kemudian setelah hijrah ke Tanjung Paiton, beliau turut aktif dalam Cabang NU Kraksaan dan Wilayah NU Jawa Timur.

Pada sekitar tahun 1951, KH. Zaini Mun’im diundang oleh tiga tokoh penting NU Cabang Kraksaan, yaitu KH. Hasan Sepuh Genggong, KH. Abdul Latif, dan KH. Fathullah, untuk membantu memimpin dan membangun organisasi NU Cabang Kraksaan. Beliau dengan senang hati menerima ajakan mereka.

Ketika Rois Syuri’ah Cabang NU Kraksaan, KH. Abdul Latif meninggal pada tahun 1953, KH. Zaini Mun’im dipilih sebagai penggantinya dan menjabat sebagai Rois Syuri’ah Cabang NU Kraksaan hingga tahun 1975. Pada Muktamar NU ke-21 di Medan pada Desember 1956, KH. Zaini Mun’im terpilih sebagai salah satu anggota dewan Partai NU dari 79 orang yang terpilih.

Sejak bergabung dengan dewan Partai NU, terlihat jelas keterlibatan beliau dalam politik nasional semakin meningkat. Pada tahun 1960, beliau terpilih sebagai Wakil Rois Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Sebagai seorang tokoh NU, KH. Zaini Mun’im tidak menyukai tindakan membagi-bagi masyarakat atau menciptakan perbedaan di antara mereka. Beliau merasa kesal jika perselisihan antara NU dan Muhammadiyah semakin memanas. Lebih baik mencari kesamaan di antara mereka daripada memperkuat perbedaan yang ada.

Meski beliau menyadari adanya perbedaan, namun beliau selalu menekankan agar santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid melebur dengan masyarakat yang lain. Beliau merasa tidak senang jika santri terkotak-kotak dan sangat marah ketika ada kelompok santri yang mengidentifikasi diri mereka dengan nama atau bendera Pondok Pesantren Nurul Jadid di tengah-tengah masyarakat.

Beliau adalah seorang pejuang yang penuh semangat, rela naik-turun gunung, pergi ke pelosok desa untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memberikan advokasi kepada masyarakat, serta memberikan perlindungan dan pembelaan atas hak-hak rakyat. Beliau tidak pernah menyerah dalam perjuangan meskipun harus menerima risiko dijebloskan ke dalam penjara karena membela hak-hak rakyat, terutama dalam kasus pembelaan terhadap petani tembakau.

Sejak bergabung dengan Partai NU, KH. Zaini Mun’im semakin terlibat dalam politik nasional dan terpilih sebagai Wakil Rois Pengurus Wilayah NU Jawa Timur pada tahun 1960. Sebagai seorang tokoh NU, KH. Zaini Mun’im tidak menyukai adanya pemisahan atau perbedaan antara umat. Dia bahkan merasa kesal jika perselisihan antara NU dan Muhammadiyah semakin memburuk. KH. Zaini Mun’im lebih mengutamakan kesamaan daripada perbedaan, meskipun dia mengakui adanya perbedaan di antara keduanya.

KH. Zaini Mun’im juga mengajarkan kepada para santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid untuk melebur dengan masyarakat yang lain agar tidak terjadi pemisahan dalam umat. Dia selalu memarahi kelompok santri yang membawa nama atau bendera Pondok Pesantren Nurul Jadid saat berkegiatan di masyarakat.

Beliau merupakan sosok pejuang yang berjuang tanpa kenal lelah, dan telah melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menjalankan misi agama Islam, termasuk menegakkan hukum Islam di Indonesia. Menurut salah satu fatwanya, orang yang tidak berjuang di Indonesia telah melakukan dosa. KH. Zaini Mun’im berpikir bahwa kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak agar hukum-hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an dapat diterapkan di Indonesia.

KH. Zaini Mun’im memberikan pemikiran cemerlang dalam hubungan NU dan politik pada Muktamar NU ke-25 pada tahun 1971. Dia meminta agar program-program NU dipisahkan antara kegiatan politik dan kegiatan kemasyarakatan, menghadapi perubahan sistem kepartaian dalam perpolitikan di Indonesia. Namun, keinginannya tidak bisa menjadi keputusan Muktamar karena sayap politik tokoh-tokoh NU masih sangat kuat pada saat itu.

Meski begitu, dua tahun kemudian, pernyataan KH. Zaini Mun’im terbukti benar.

Pada tahun 1973, terjadi perubahan sistem partai politik di Indonesia. Banyak partai digabung menjadi dua partai besar yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sementara Golkar menjadi partai yang independen dan tidak mengalami fusi. Sebagai bagian dari perubahan tersebut, Partai NU bergabung dengan partai-partai berbasis Islam lainnya dan menjadi bagian dari PPP. Namun, hal ini menyebabkan kekuatan NU menjadi berkurang dan terasimilasi ke dalam kekuatan lainnya. Melihat kondisi ini, KH. Zaini Mun’im mencari dukungan dari para ulama di seluruh Jawa untuk mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar PPP dapat menggunakan gambar Ka’bah sebagai lambang partai, meskipun pemerintah mengharuskan lambang partai menggunakan gambar-gambar yang terdapat dalam lambang Garuda Pancasila. Usulan ini akhirnya diterima oleh Presiden.

Karya-Karya KH. Zainul Mun’im

• Tafsirul Ushul fil Ilmil Ushul. Kitab ini beliau tulis sebagai upaya memudahkan santri dalam memahami Qa’idah Ushuliyah dengan metode cepat dan praktis.
• Nadham Safinatun Najah, kitab ini ditulis pada tahun 1377 H / 1956 M. Kitab ini ditulis oleh beliau diasumsikan sebagai penyempurnaan dari kitab-kitab Fiqh lil Mubtadiin.
• Nadham Syu’abil Iman. Nadham sebanyak 313 bait ini menjelaskan tentang Tauhid dan akhlaq. Beliau mulai menulis kitab ini sejak tahun 1387 H/1966 M. dan pada tahun 1392 H/1972 M diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kitab ini merupakan rangkuman dari kitab Syu’abil Iman karya Al-Imam Al-Baihaqi.
• Tafsir Qur’an bil Imla’. Kitab ini merupakan bahan acuan dalam mengajar Fi Kulliyati Tafsir.
• Karya Ilmiah “Problematika Dakwah Islamiyah”, disampaikan pada Dies Natalis ke-III PTID, dan Naskahnya dimuat di Majalah Al-Jami’ah XI IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *