Biografi Kiai Abdurrahman Khalil, Bawean

  • Bagikan
Kiai Abdurrahman Khalil
Biografi Abu Abdullah Mas'ud bin Abdullah al-Jawi

Riwayat Hidup Kiai Abdurrahman Khalil

Pertemuan laut antara Malaka (Singapura-Malaysia) dan Bawean memberikan dampak positif bagi masyarakat Bawean. Masyarakat Bawean menggunakan perahu tradisional mereka pada musim angin timur untuk melakukan perdagangan dengan Malaka, termasuk dengan kapal KPM yang kemudian dioperasikan oleh pengusaha Bawean. Selain itu, hubungan antara Bawean dan Malaka juga ditandai dengan kehadiran orang Kemas dari Palembang yang mulai melakukan perdagangan laut ke Singapura.

Salah satu orang Kemas yang menetap di sana adalah Kemas Haji Jamaluddin bin Kemas Haji Said sejak tahun 1876. Ia adalah pedagang tekstil dan bahan makanan, serta menjadi agen dari sebuah perusahaan pelayaran yang dikelola oleh sebuah kongsi China. Perusahaan tersebut menjalin hubungan dagang antara Surabaya-Singapura-Bawean-Singapura.

Hubungan antara Bawean dan Malaka tidak hanya terkait dengan urusan ekonomi semata, tetapi juga berkaitan dengan peran ulama dan jaringan intelektual mereka. Hal ini tidak terlepas dari posisi strategis Malaka yang dimanfaatkan oleh ulama Bawean yang tinggal di Singapura untuk berinteraksi dan berkarya bersama dalam menghasilkan karya besar, yaitu penerjemahan kitab-kitab Islam klasik ke dalam tiga bahasa: bahasa Melayu, bahasa Bawean, dan bahasa Jawa.

Salah satu nama yang menarik perhatian dalam khazanah intelektual generasi Kebun Teluk Dalam adalah Kiai Abdurrahman Khalil al-Teluk Dalami. Nama beliau ditemukan dalam sebuah kumpulan kitab-kitab klasik yang diterbitkan di Singapura dan disimpan di Desa Pekalongan.

Beliau dikenal sebagai penulis kitab Ar-Risalah al-Musytahirah bi Safinah al-Shalah li al-Habib Al-Hasyimi Sayyid Abdullah bin Umar al-Hadhramiy li Ajli al-Nafi biha. Kitab tersebut diterjemahkan ke dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, bahasa Bawean, dan bahasa Melayu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya jaringan intelektual antara ulama Bawean dan Malaka dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan Islam di wilayah tersebut.

Karya yang dibicarakan di sini adalah sebuah kitab yang diterjemahkan ke dalam tiga bahasa, yakni bahasa Bawean, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu. Kitab ini merupakan hasil karya Ahmad Zuhri Syarbaya, Abu Bakar Asyik (Teluk Kalumpang, Teluk Jati), Ahmad Khalid Nawawi (Pekalongan), dan Abdurrahman Khlail (Teluk Dhelem), dan dicetak di Lorong Engku Aman no. N-242, Gilang, Singapura pada 10 Muharram 1335 atau bersamaan dengan 2 April 1936.

Meskipun hanya berupa terjemahan, karya ini menunjukkan keunikan kreativitas generasi emas pulau Putri dalam mengembangkan mutu pendidikan agama, terutama dalam bidang pendidikan agama Islam. Dalam konteks ini, karya tersebut menunjukkan kesungguhan dan ketekunan generasi emas pulau Putri dalam meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan mereka.

Sebagai guru, mereka bertanggung jawab untuk membuktikan kemampuan mereka melalui tulisan, bukan hanya melalui lisan. Karya mereka juga menjadi teladan dan perbandingan untuk metode pengajaran yang akan diterapkan oleh generasi selanjutnya. Kitab tersebut mengungkapkan bagaimana mereka berusaha memasukkan kosakata Bawean dengan membandingkannya dengan kosakata bahasa Jawa dan Melayu.

Terjemahan kalimat Al-Hamdulillah ke dalam tiga bahasa tersebut menunjukkan keahlian ulama Bawean dalam menguasai berbagai bahasa, baik bahasa Arab, Melayu, Jawa, maupun bahasa Bawean itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa mereka adalah intelektual yang handal dan berkomitmen dalam pengembangan pendidikan agama di daerah mereka.

Selain itu, struktur kalimat yang digunakan dalam terjemahan tersebut juga menunjukkan pengaruh dari sistem penerjemahan model pesantren yang umum digunakan di wilayah Jawa pada masa itu. Dalam sistem tersebut, terjemahan kitab kuning dilakukan dengan mengutamakan penggunaan bahasa Jawa, sehingga terjadi penyesuaian struktur kalimat bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.

Meski demikian, ulama Bawean tidak hanya mengikuti pola penerjemahan yang sudah ada, tetapi juga berusaha untuk menciptakan terjemahan yang tepat dan mudah dipahami oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari upaya mereka dalam memasukkan kosakata Bawean ke dalam terjemahan, sehingga memudahkan masyarakat dalam memahami isi kitab.

Kemudian, membaca Tasbih, Tahmid dan Takbir tiga kali secara qalbi ketika akan ruku’, dan tiga kali juga ketika akan bangkit dari ruku’, dan tiga kali ketika akan sujud, dan tiga kali juga ketika akan duduk di antara dua sujud.

Dalam terjemahan bahasa Bawean, kata “qalbi” diterjemahkan sebagai “ngonceng” yang artinya “secara batiniah” atau “dalam hati”. Dalam bahasa Melayu, kata “qalbi” diterjemahkan menjadi “dalam hati”. Hal ini menunjukkan kekhasan dalam penggunaan bahasa Bawean dan bahasa Jawa dalam terjemahan kitab-kitab Islam klasik, yang mampu mempertahankan kosakata dan konsep-konsep asli dalam bahasa Arab dengan tetap mengakomodasi bahasa lokal yang digunakan oleh komunitas Bawean di Singapura.

  • Teks Arab berbunyi: Wa arkan al-shalati tsalatsatu aqsamin, al-awwalu qalbiyyun wahuwa anniyatu faqath, wa syuruthuha an takuna ma’a takbirat al-ihrami an takuna fil qiyami.
  • Teks Melayu berbunyi: Bermula rukun sembahyang yaitu tiga bagian. Pertama yaitu bangsa hati. Bermula ia, yaitu niat jua. Bermula beberapa syarat niat yaitu ada ia, yaitu serta takbiratul ihram. Dan bahwa ada ia, yaitu pada berdiri.
  • Teks Bawean berbunyi Dining rukuna sambejeng reak telu’ begian. Dining rukun si awwal reak rukun bengsa ate. Dining rukun qalbi reak niat belaka. Dining berempa-berempa syarat niat, reak ghudu bede niat, rekan abereng serta tekbiratul ihram, ben ghudu bede e delem manjheng.
  • Teks Jawa berbunyi: Utawi piro-piro rukuni sembahyang, ikut elu. Utawi kang awal iku Wongso ati, utawi rukun qalbi iku niat beloko. Utawi piro-piro syarati niat iku arep ono iyo niat, iku serto takbiratul ihram, lan arep ono iyo niat, iku ing dalem Ngadek.

Produktifitas K. Abdurrahman Khalil

Karya terjemahan Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum ini menunjukkan keahlian Abdurrahman Khalil al-Teluk Dalami dan Abu Bakar Asyik al-Teluk Kalompani dalam menguasai kitab kuning. Dalam hal ini, mereka mampu mengubah bahasa Arab yang kental dengan istilah-istilah keagamaan menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat Bawean. Hal ini tentu saja memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Bawean dalam memahami ajaran agama Islam dengan lebih baik.

Dalam hal ini, kreativitas dan kealiman keduanya dalam menguasai kitab kuning telah memotivasi masyarakat Bawean untuk belajar dan mencari ilmu keagamaan secara lebih serius. Dengan demikian, karya generasi emas ini telah menjadi sebuah tradisi yang terus dijaga dan diwariskan kepada generasi selanjutnya dalam usaha meningkatkan nilai-nilai keagamaan. Dalam pandangan ini, semangat belajar dan mencari ilmu keagamaan dianggap sebagai akar dari sejarah tradisi keagamaan di masyarakat Bawean.

Hal tersebut menunjukkan pentingnya mencatat dan memahami pelajaran secara baik dan benar. Mencatat dapat membantu dalam mengingat dan memahami pelajaran yang telah diberikan, sehingga bisa dimanfaatkan untuk membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Namun, mencatat yang tidak benar atau ketika belum benar-benar memahami pelajaran hanya akan menyia-nyiakan waktu dan tidak bermanfaat.

Oleh karena itu, penting bagi para penuntut ilmu untuk memahami dan mencatat pelajaran dengan benar dan teliti. Hal ini juga menjadi nilai yang dipegang oleh generasi emas tersebut dalam menuliskan terjemahan kitab-kitab kuning agar dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.

Dalam sebuah syair yang pernah dibacakan oleh Syaikh Qawwanuddin Hammad bin Ibrahim bin Ismail, syair milik Syaikh Khalil bin Ahmad Sijrizi:

“Jika engkau telah hafal satu ilmu, maka ulangilah, sehingga tidak lupa. Kemudian kukuhkan dengan sekuat-kuatnya. Selanjutnya, catatlah ilmu tersebut, agar engkau dapat mengulang dan mempelajari selama-lama­nya. Setelah engkau merasa aman atau hafal dan sekiranya tidak akan lupa terhadap pelajaran yang sudah dipelajari itu, maka bergegaslah menambah pelajaran yang baru.”

Diriwayatkan pula sebuah hadis, pada suatu ketika sahabat Hilal bin Yasar sedang melihat Nabi Muhammad Saw. Menerangkan sesuatu kepada para sahabat tentang ilmu dan hikmah. Kemudian yang telah engkau sampaikan kepada sahabat tentang ilmu dan hikmah. Kemudian Hilal bin Yasar berkata, “Ya Rasul, mohon kiranya engkau ulangi keterangan yang telah engkau sampaikan kepada sahabat tadi.” Kemudian Rasullah Saw bersabda kepada Hilal bi Yasar:

“Apakah kamu membawa pena?” Aku menjawab, “Tidak” kemudian Rasulullah bersabda, “Hai Hilal, jangan sampai kamu terpisah dari pena. Karena kebaikan itu tidak terlepas dari pena dan orang yang mau menggunakan pena, demikian itu sampai hari kiamat.”

Benar sekali, karya kitab terjemahan yang dihasilkan oleh generasi emas Bawean merupakan khazanah intelektual yang sangat berharga dan telah memberikan kontribusi besar bagi dinamika pemikiran keagamaan pada masa itu. Tidak hanya itu, kitab-kitab tersebut juga memperkuat akar tradisi religius dan tatanan kemasyarakatan di Bawean serta menunjukkan kejeniusan penulisnya dalam menghadapi tantangan zaman.

Namun, sayangnya karya-karya tersebut sering kali terlupakan oleh sejarah dan tidak mendapatkan perhatian yang layak. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk terus melestarikan dan mempelajari karya-karya tersebut sebagai bagian dari warisan intelektual yang menjadi identitas budaya kita sebagai bangsa. Kita juga perlu mengapresiasi peran generasi emas Bawean dalam menciptakan karya-karya tersebut serta mengambil hikmah dan pelajaran dari kreativitas dan ketekunan mereka dalam mengejar ilmu dan memperkaya khazanah keilmuan.

Terlihat bahwa perjalanan ulama Bawean untuk menuntut ilmu tidak hanya berhenti pada lingkup lokal saja, namun juga menyebar hingga ke berbagai pesantren di tanah Jawa dan bahkan ke Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa ulama-ulama Bawean memiliki semangat dan tekad yang tinggi dalam mengejar ilmu agama dan memperjuangkan kemajuan tradisi keagamaan di masyarakat.

Dengan kehadiran mereka di berbagai tempat, mereka juga berkontribusi dalam membentuk pemikiran dan tradisi keagamaan yang beragam, namun tetap konsisten dengan nilai-nilai dasar agama Islam. K.H. Mas Raji, sebagai salah satu ulama Bawean yang mencapai kesuksesan dalam karirnya, menjadi contoh inspiratif bagi generasi Bawean selanjutnya untuk mengikuti jejaknya dan mengembangkan tradisi keagamaan yang telah ada.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *