Biografi Lengkap Pangeran Diponegoro – Tokohwanita.co.id – Dalam tubuh Pangeran Diponegoro mengalir dua jenis darah, yaitu darah bangsawan dan darah ulama. Karena beliau memiliki latar belakang sebagai bangsawan, maka beliau memiliki sifat-sifat keperwiraan dan keberanian yang luar biasa dalam melawan penjajah.
Namun, karena beliau juga memiliki darah ulama, maka beliau memiliki motivasi perjuangan yang sangat kuat untuk mempertahankan martabat agama, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, prinsip al-amr bi al-ma’rf wa an-nahy ‘an al-munkar menjadi landasan perjuangan Pangeran Diponegoro yang tak tergoyahkan.
Kelahiran Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro awalnya diberi nama Ontowiryo sebagai putra Sultan Raja atau Sultan Hemengkubuwono III yang saat itu masih berstatus sebagai pangeran. Ia lahir pada tanggal 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta yang saat itu diperintah oleh buyutnya,
Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Meskipun tidak lahir sebagai putra mahkota karena ibunya hanya seorang selir, Pangeran Diponegoro sangat dihormati karena pengaruh dan wibawanya yang besar serta sebagai putra tertua Sultan Hamengku Buwono III.
Sejak kecil, Pangeran Diponegoro alias Ontowiryo diasuh di Tegalrejo, sebuah desa di kawasan Magelang oleh buyut dan kakaknya. Di sana, ia banyak belajar masalah keagamaan, moral, kepemimpinan, dan keperwiraan yang membentuk karakternya. Meskipun demikian, Pangeran Diponegoro tetap dihormati oleh kawan maupun lawan karena pengaruhnya yang besar.
Pendidikan Pangeran Diponegoro
Pendidikan agama yang diterima Pangeran Diponegoro sejak kecil memengaruhi perjuangannya kelak. Meskipun hidup di lingkungan keraton yang penuh gemerlap, Diponegoro tidak terpengaruh oleh westernisasi yang mulai merambah kalangan bangsawan. Ia tetap kokoh sebagai santri yang teguh memegang agama dan adat istiadat leluhurnya. Meski telah menjadi bangsawan keraton Yogyakarta, ia sering menghabiskan waktu di Tegalrejo untuk belajar dari buyutnya, Ratu Ageng, janda Sultan Hamengku Buwono I.
Diponegoro lebih dikenal sebagai seorang santri dibanding sebagai bangsawan. Ia merasa prihatin melihat nasib Kerajaan Yogyakarta yang terinjak-injak oleh Belanda tanpa hormat pada adat dan tradisi yang telah berkembang sejak lama, serta tidak memperdulikan nilai-nilai moral keagamaan.
Divide Et Impera
Belanda melakukan politik adu domba (divide et impera) untuk menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara, seperti yang dilakukan oleh Letnan Gubernur Inggris di Jawa, Thomas Stanford Raffles. Diponegoro melihat hal ini dengan kepala sendiri dan menjadi semakin bertekad untuk mempertahankan martabat agama, bangsa, dan negara.
Meskipun merasakan pahit getirnya keadaan yang tidak menentu, Pangeran Diponegoro tetap tabah mendampingi ayahandanya sebagai sultan ketiga di Kerajaan Yogyakarta. Namun, setelah ayahandanya meninggal dunia, putra mahkota yang baru berusia 2 tahun diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono V menggantikan Sultan keempat yang wafat dalam usia muda. Meski pada awalnya dijanjikan sebagai pengganti Sultan keempat, Pangeran Diponegoro menolak janji tersebut karena merasa itu hanya akan memecah belah persatuan antar pangeran di kerajaan.
Meskipun Pangeran Diponegoro memahami bahwa dirinya tidak mungkin menjadi raja karena hanya seorang anak selir, masalah yang membuatnya prihatin adalah masalah wibawa keraton yang telah pudar dan tindakan brutal Belanda yang tidak lagi menghormati para pangeran, termasuk Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) yang menjadi penasehat Sultan.
Belanda juga mencabut hak istimewa lembaga-lembaga keagamaan, seperti pengelolaan harta kekayaannya dan memberi gaji tanah lungguh (semacam tanah bengkok) pada pejabat keagamaan di kabupaten dan desa. Bahkan daerah yang memiliki bangunan keagamaan diberi status “Daerah Perdikan” yang dibebaskan dari pajak. Pondok pesantren di tingkat kabupaten maupun desa pun mendapatkan sumber penghidupan berupa tanah lungguh (ganjaran).
Setelah wafatnya Sultan Agung, hak istimewa lembaga keagamaan di Kerajaan Yogyakarta semakin banyak dikurangi dan dicabut, bahkan saat pemerintahan Hamengku Buwono V dengan bantuan penguasa Belanda, hak-hak istimewa tersebut dicabut dan tanah-tanahnya diambil oleh penguasa Belanda.
Tindakan ini meningkatkan rasa benci Pangeran Diponegoro terhadap Belanda yang juga telah banyak menghasut keluarga kerajaan. Akibatnya, Pangeran Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo dan jarang mengunjungi Keraton Yogyakarta. Tindakan ini semakin menimbulkan kecurigaan dari Belanda, yang berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro yang dianggapnya sebagai perintang utama.
Setelah konflik dingin antara Belanda dan Pangeran Diponegoro berlangsung lama, akhirnya terjadilah perang pecah. Penyebab utamanya adalah pembangunan jalan di Tegalrejo yang merusak makam-makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Belanda sudah mengetahui bahwa tindakan tersebut akan memicu kemarahan Pangeran Diponegoro, namun mereka sengaja melakukannya.
Sebagai seorang ksatria, Pangeran Diponegoro biasanya tidak mudah tersinggung oleh pergeseran posisi dan kedudukannya, tetapi kali ini ia benar-benar tersinggung oleh tindakan Belanda yang memasang pancang di tanah tempat kuburan nenek moyangnya. Pangeran Diponegoro lalu mengumpulkan pasukannya dan memutuskan untuk memeranginya.
Sebaliknya, Belanda masih mempraktikkan politik adu domba. Sultan Yogyakarta atas hasutan Belanda, memerintahkan Pangeran Mangkubumi untuk meredakan Pangeran Diponegoro agar tidak memberontak. Namun, jika Pangeran Mangkubumi gagal dalam misinya, ia diminta untuk menangkap Pangeran Diponegoro, meskipun harus membunuhnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Setelah Pangeran Mangkubumi bertemu langsung dengan Pangeran Diponegoro, ia malah memilih membantu perjuangan Diponegoro dan menjadi penasihat perangnya. Pangeran Mangkubumi menyadari bahwa perjuangan Pangeran Diponegoro adalah perjuangan suci yang harus dipertahankan. Akhirnya terjadilah Perang Diponegoro atau Java Oorlog pada tahun 1825-1830, yang merupakan perang terbesar di Jawa pada abad ke-18 setelah penyerangan Sultan Agung ke Batavia, penyerangan Trunojoyo dan Perang Untung Suropati.
Pengaruh Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro memiliki pengaruh yang besar, terbukti dengan banyaknya pemimpin masyarakat, tokoh-tokoh Islam, para ulama, dan santri yang siap membela dan melaksanakan jihad fi sabillah (perang suci) atas namanya. Tanpa status ulama besar dan bangsawan yang berpengaruh, perang yang ia mulai tidak akan mendapatkan sambutan sedemikian besar dari masyarakat.
Terdapat banyak tokoh terkenal yang membantu Pangeran Diponegoro dalam perang ini, di antaranya Kiai Mojo, seorang ulama besar asal Desa Mojo, Kabupaten Surakarta. Kiai Mojo bersama santrinya dan pengikutnya siap memanggul senjata untuk melaksanakan jihad. Selain itu, ada juga Kiai Kasan Besari, mertua Pangeran Diponegoro, seorang ulama berpengaruh di daerah kedua.
Tokoh lainnya adalah Kiai Ahmad Sanusi, seorang ulama muda yang menjadi salah satu panglima perang Diponegoro. Mulyosentiko, seorang tokoh muda yang kemudian menjadi salah satu Panglima Perang Diponegoro. Tokoh muda yang paling terkenal adalah Ali Basya Sentot Prawirodirjo, yang diangkat sebagai panglima tertinggi pasukan Diponegoro. Pada saat itu, Sentot yang baru berusia sekitar 18 tahun mengingatkan kita akan Usamah bin Zaid, sahabat Nabi yang ditugaskan untuk memimpin perang melawan pasukan Romawi dan kemudian diangkat kembali oleh Khalifah Abu Bakar setelah Nabi wafat.
Pangeran Diponegoro tidak berjuang untuk kedudukan dan kekayaan, melainkan untuk membela agama, bangsa, dan martabat kerajaan. Karena motivasi ini, ia mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Bahkan, para pengikutnya mengangkatnya sebagai kepala negara Islam dengan gelar Sultan Abdul Hamid Heru Cakra Amirul Mukminin Sayyidin Panoto gomo Khalifatullah Tanah Jawa.
Gelar ini menunjukkan perjuangan suci Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin Islam, penata agama, dan khalifatullah untuk Tanah Jawa. Gelar tersebut menunjukkan pengaruh besar Pangeran Diponegoro, terutama dalam bidang spiritual, sebagai amirul mukminin yang diangkat oleh rakyatnya.
Belanda sangat kesulitan dalam menghadapi Perang Diponegoro ini, terutama karena mereka juga harus menghadapi Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Hal ini membuat Belanda harus membagi anggaran dan pasukannya untuk menghadapi kedua perang tersebut.
Kesulitan Belanda Melawan Pangeran Diponegoro
Seiring berjalannya waktu, Belanda mulai mengalami kesulitan keuangan yang serius. Selama 5 tahun perang berlangsung, banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Ali Basya Sentot Prawirodirjo dan panglima-panglima lainnya berhasil memenangkan banyak pertempuran pada periode pertama perang (1825-1828). Belanda menjadi semakin bingung menghadapi mereka.
Sebagai strategi yang biasa digunakan, Belanda menggunakan politik devide et impera (memecah belah dan memerintah) dengan mendekati satu tokoh dengan tujuan menjatuhkan tokoh lainnya. Belanda berhasil berdamai dengan Tuanku Imam Bonjol agar dapat fokus pada perang di Jawa Tengah, sehingga kekuatan Belanda bertambah. Di sisi lain, usaha mereka untuk memecah belah kekuatan Diponegoro berhasil, karena banyak tokoh yang terkena hasutan manis dari Belanda dan akhirnya bergabung dengan mereka.
Belanda menggunakan sistem pertempuran Benteng (Benteng Stelsel) untuk melokalisir pemberontakan Diponegoro. Siasat ini membuat serdadu Diponegoro terpaksa melaksanakan perang gerilya di hutan-hutan yang semakin membuat mereka lemah akibat kekurangan logistik dan menghadapi musim hujan. Jenderal De Kock, seorang perwira senior Belanda, berhasil menciptakan siasat jitu ini dan nantinya diangkat sebagai gubernur jenderal di Jawa. Akibatnya, satu persatu pembantu Diponegoro tertangkap atau menyerahkan diri.
Meskipun Kiai Mojo berusaha untuk berdamai melalui perundingan, tetapi perundingan ini gagal dan ia akhirnya ditangkap saat hendak bergabung kembali dengan pasukan Diponegoro dan diasingkan ke Minahasa pada bulan Nopember 1828. Pangeran Mangkubumi yang sudah berusia lanjut, dan istri serta ketiga puteranya juga menyerah pada bulan Juli dan September 1829. Sedangkan Pangeran Sosrodilogo dan Pangeran Ario Prangwadono berhasil ditangkap oleh Belanda, dan Panglima Perang Diponegoro, Ali Basya Sentot Prawirodirjo, menyerah dan diterima sendiri oleh Jenderal De Kock pada tanggal 24 Oktober 1829.
Kesulitan yang terus bertambah membuat posisi Pangeran Diponegoro semakin terpuruk. Banyak sekutunya yang menyerah atau tewas dalam pertempuran, termasuk panglima perang dan penasihatnya, Pangeran Joyokusumo. Datangnya musim hujan dan bulan puasa semakin memperparah situasi Pangeran Diponegoro yang sulit melanjutkan perang gerilya.
Belanda kembali menawarkan perdamaian kepada Pangeran Diponegoro melalui Kolonel Cleerens yang menemuinya di Bagelen. Kolonel itu memberikan jaminan pada Pangeran Diponegoro dan berjanji tidak akan mengkhianati selama dan setelah perundingan. Tawaran ini diterima Pangeran Diponegoro karena sudah tidak ada alternatif lain. Perundingan diadakan di kediaman residen Kedu pada 28 Maret 1830 setelah Pangeran Diponegoro keluar dari markas gerilya sebulan sebelumnya.
Namun, perundingan mengalami jalan buntu karena Pangeran Diponegoro tetap teguh pada pendiriannya sementara Belanda merasa lebih kuat dan tidak mau mengabulkan permintaannya. Dalam akhirnya, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda beserta beberapa puteranya dan istri tercintanya, Ratnaningsih, yang selalu setia mendampingi tokoh karismatik ini. Sebagaimana perang sebelumnya di wilayah nusantara, Belanda menggunakan akal liciknya untuk menangkap Diponegoro. Meski tampak tangguh, Singa Perang Jawa ini telah jatuh ke dalam perangkap Belanda.
Pangeran Diponegoro dan keluarganya bersama beberapa pengikutnya dipindahkan dari Batavia ke Manado oleh pemerintah Hindia Belanda, lalu dipindahkan lagi ke Makassar setelah menjalani hukuman selong di Manado. Setelah 21 tahun mendekam di tahanan Benteng Rotterdam, Pangeran Diponegoro meninggal dunia pada usia 70 tahun dan dimakamkan di Kampung Melayu, Kota Makassar. Perjuangan beliau menunjukkan bahwa motivasi perjuangannya bukanlah untuk kedudukan, tahta, atau harta, tetapi lebih tentang kehormatan dan martabat agama dan bangsa yang diinjak-injak oleh penjajah.
Beliau merupakan sosok ulama, bangsawan, pemimpin, dan pejuang yang sangat hebat semangat jihadnya. Sebagai ulama penganut mazhab Syafi’i yang taat, Pangeran Diponegoro banyak mempelajari kitab suci Alquran, suluk dan tarekat, kitab Tiuhfah, fkih Syafi’i, Nashihah al-Mulk karangan Imam al-Ghazali, Sejarah Asfahan dan Arabia, Babad Majapahit, dan Babad Mataram. Beliau mempelajari kitab-katab tersebut menurut aslinya, yang menunjukkan kealiman beliau dalam ilmu keagamaan. Catatan sejarah ini diambil dari buku Diponegoro oleh Prof. H.M. Yamin, SH.
Kunjungi juga: Bestie.or.id
Perang Diponegoro memiliki pengaruh besar dalam bidang agama. Setelah wafatnya Pangeran Diponegoro, para pengikutnya memusatkan perhatian mereka pada penyebaran agama melalui pesantren yang mereka dirikan di berbagai wilayah. Setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro, sebagian besar pengikutnya melarikan diri dan menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Mereka menyamar sebagai petani dan mendirikan langgar, masjid, dan bahkan pesantren untuk melatih kader pejuang.
Rata-rata pondok pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang didirikan pada pertengahan abad ke-19 berasal dari pengikut Pangeran Diponegoro. Mereka menggunakan sandi berupa tanaman sawo kecik di pekarangan langgar, masjid, atau rumah mereka (kiai), sebagai tanda bahwa mereka adalah pengikut Pangeran Diponegoro. Sandi ini memiliki arti “nander kebecikan” yang berarti menanamkan kebajikan di mana pun berada.
Penghargaan Pangeran Diponegoro
Berkat pengaruh besar dari perjuangan Pangeran Diponegoro, namanya tetap diingat hingga saat ini, terutama oleh kaum santri. Pahlawan nasional ini diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 087/TK Tahun 1973 tertanggal 6 November 1973, sebagai penghargaan atas jerih payahnya dalam memperjuangkan bangsa, negara, dan agama.
Sumber : Ensiklopedia Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara